Senin, 28 November 2011

Kehidupan Petani Indonesia


Ada sebuah cerita tentang salah seorang Petani Indonesia, begini ceritanya :
 Petani desa terpencil dengan luas lahan sekitar 1000 m2. Jangankan pestisida, pupuk pun tahunya hanya urea. Menurut cerita kakek dia mulai bertani sejak umur 20 tahunan, kehidupan bertani dimulai sejak terlepasnya predikat buruh tani dari bahunya.
Sampai sekarang kakek masih tetap bertani. Umur kakek saya sekarang sudah 95 tahun, berarti beliau sudah bertani selama 75 tahun. Dan jika dihitung berapa kali beliau menanam padi kira-kira sudah 150 kali. Kakek mempunyai sebuah rumah semi permanen dengan dinding yang belum diplester masih berbentu bata. Itupun hasil karya para putra-putranya beberapa tahun yang lalau. Beliau memiliki sepeda kayuh 1 buah dan kambing 5 ekor. Dan kalau saya rupiahkan kekayaan kakek tidak lebih dari 5 juta rupiah. Itupun diraih dari hasil kerja keras dan penuh keprihatinan serta kesederhanaan.
Itulah sekilas gambaran mayoritas petani indonesia sekarang ini. Lalu salah siapa ini? Padahal jasa beliau tidaklah dapat dihitung, coba anda pikirkan siapakah yang telah memberi makan berjuta-juta penduduk indonesia sejak 75 tahun silam sampai sekarang? Tetapi kenapa nasib petani kita masih seperti itu.
Menurut cerita dari rekan-rekan PPL senior, pemerintah telah menurunkan dana bertrilyunan untuk membantu petani kita. Untuk mendukung bergulirnya dana tersebut pemerintah juga membuat program pendampingan dari mulai KUT, BPLM, SMD sampai PUAP. Tapi mengapa petani masih tetap miskin? Apa ada yang salah dengan kebijakan pemerintah tersebut?
Saya kira pemerintah perlu membuat design kebijakan yang baru yang lebih bisa memahami kondisi riil mayoritas petani kita, dengan strategi yang lebih menggigit. Kalau hal tersebut tidak dilakukan, saya jamin kehidupan petani kita akan semakin terpuruk dan secara otomatis akan memutus siklus hidup para petani kita.
Negara indonesia akan kehilangan petani-petaninya karena sudah tidak ada generasi penerus petani yang mau bertani. Hal ini terjadi karena kaum muda menganggap mata pencaharian sebagai petani sudah tidak layak dan rendah bahkan hina. Mereka menganggap sudah tidak ada yang bisa diharapkan dari kehidupan bertani. Lalu mereka akan berbondong-bondong untuk mencari pekerjaan lain. Yang menjadi pertanyaan saya, Siapakah nanti yang akan menanam padi lagi ketika generasi tua sudah habis? Apakah anak-anak dari pak tani mau bertani?
Bangsa ini akan kehilangan lahan-lahan pertaniannya karena sudah tidak ada yang mau bertani lagi. Dan secara otomatis lahan-lahan pertanian tersebut akan disulap menjadi lahan yang penuh dengan bangunan. Sehingga negara kita akan kehilangan gelar sebagai Negara Agraris.
Untuk merubah gambaran keadaan masa depan suram tentang Indonesia itu, tentunya pemerintah harus membuat iklim pertanian dan perekonomian yang mendukung untuk petani kecil. Iklim yang bisa memudahkan petani kecil untuk tumbuh dan mengembangkan usahanya sehingga petani akan dengan mudah mencapai kesejahteraan hidup dari sisi materi. Kesejahteraan yang selama ini hanya menjadi impian mereka.
Dengan terbentuknya iklim yang mendukung kehidupan petani secara otomatis menjadikan anak turun mereka akan sangat bangga menerima warisan pekerjaan sebagai petani. Jika hal ini terjadi maka pemerintah tidak perlu lagi ragu akan masa depan pertanian indonesia, karena akan terbentuk petani generasi muda yang tangguh dan cakap serta mau dan mampu menerima inovasi teknologi.
Saya menjadi sangat emosional jika melihat ulasan atau tulisan yang menjelaskan tentang “kematian” para petani kita, petani Indonesia. Apalagi jika melihat dari dekat fakta bahwa petani kita memang bisa dianggap bukan petani “pengusaha”, melainkan petani “buruh”. Baiklah saya menerima karena itu memang kenyataannya. Saya adalah cucu petani, saudaranya petani dan tetangga para petani.
Tapi kenyataan itu tidak lantas membuat kita harus terus menangisi petani kita. Apakah ada solusi dari masalah diatas. Saya yakin selalu ada. Karena tidak ada masalah yang tidak ada jalan keluarnya. Saya ingin melihat masalah ini dari kacamata saya sendiri sebagai orang yang tidak bisa dikatakan dekat tetapi sejak kecil melihat kehidupan para petani.
Ternyata masalah yang sangat mengganggu para petani yang saya lihat adalah bagaimana sulitnya mereka mengontrol harga dari hasil pertaniannya, kelangkaan pupuk saat tanam dan mahalnya harga-harga obat pembasmi hama yang menyerang tanaman mereka. Selalu itu yang menjadi masalah terutama sejak era reformasi berlangsung. Nenek saya pernah bercerita, dulu menanam apapun di ladang rasanya sangat mudah. Tidak perlu pupuk macam-macam dan obatan-obatan kimia yang aneh-aneh.
Ketiga masalah diatas adalah konsekuensi dari adanya tiga pilar utama industri yang menunjang kehidupan seluruh masyarakat kita. Industri pupuk, industri obat-obatan, dan industri tani itu sendiri, yaitu petani yang menjadi pekerja lapangan yang langsung berhadapan dengan sawah, ladang dan kebun yang mereka miliki. Disinilah keuletan dan ketrampilan para petani yang dibutuhkan.
Sayangnya untuk menjadi petani umumnya masyarakat kita tidak harus mengenyam pendidikan yang tinggi. Kultur dari masyarakat negara Indonesia adalah kultur tani, sehingga sekuat apapun tenaga yang diberikan oleh para penyelenggara negara untuk menyejahterakan rakyatnya tidak akan pernah berhasil jika negara tidak memberi perhatian yang serius kepada ketiga industri diatas.
Sedangkan dua industri yang lain yaitu pupuk dan obat-obatan yang notabene para praktisinya harus mengenyam pendidikan yang tinggi selalu menjadi momok yang menakutkan bagi para petani. Industri penunjang pertanian ini juga tidak bisa disalahkan karena mereka berdiri atas dasar dedikasinya yang diperuntukkan untuk para petani, sehingga menghasilkan produk-produk yang bermanfaat untuk memajukan industri pertanian. Bagaimanapun kedua industri tersebut tidak boleh mati, karena sebagai penunjang bagi berlangsungnya kehidupan petani dan industri pertanian itu sendiri.
Sebuah Solusi
Malu sebenarnya mengatakan ini sebuah solusi, tapi menurut saya, sah-sah saja kita menyampaikan sebuah pendapat, syukur-syukur jika pendapat itu menjadi pertimbangan bagi penyelesaian sebuah masalah.
Menurut hemat saya, para petani yang terhormat itu tidak dapat dipersalahkan karena mereka adalah korban dari buruknya sebuah sistem dan ketidaktahuan, atau ketidakmauan para penyelenggara negara dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ada di negeri ini. Mimpi saya kelak jika para penyelenggara negara tidak lagi menganggap dirinya sebagai manusia yang harus dilayani serta dihormati dan berganti menjadi manusia pelayan, maka semua masalah yang melingkupi hidup berbangsa dan bernegara ini akan berangsur-angsur akan selesai dengan sendirinya. Mudah-mudahan itu tidak lama lagi.
Lalu apakah kita akan menunggu masalah akan selesai dengan sendirinya ? saya harap tidak.
Pertama, berkaca kepada fakta di lapangan, saya sering melihat ketika seorang tengkulak menawar harga padi yang dipanen seorang petani. Para tengkulak ini menawar dengan harga rendah dengan memberi alasan logis, “karena harga dipasaran memang segitu, kalau tidak segitu nanti saya tidak dapat untung”. Jadi siapa sebenarnya yang menciptakan pasar. Tentu saja penyelenggara negara. Faktanya adalah tempat terakhir dari padi yang dihasilkan oleh petani ini nantinya akan lari ke lumbung-lumbung yang telah disediakan pemerintah. Artinya pemerintahlah yang membeli padi dari para petani.
Karena mayoritas dari masyarakat di indonesia ini adalah petani, maka saya kurang setuju jika pemerintah membuat lumbung (gudang-gudang) hanya di pusat kota yang disiapkan untuk mengantisipasi agar tetap tersedia bahan-bahan pokok untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh Indonesia. Yang saya maksud adalah pemerintah menentukan harga jual bahan-bahan hasil tani ini dengan harga yang menyulitkan masyarakat dengan alasan yang sekali lagi “logis” karena mahalnya proses pembelian bahan pangan ini dari petani sampai berada di lumbung milik pemerintah. Proses itu adalah termasuk transportasi, pemeliharaan tempat, dan manajemen penyaluran kembali kepada masyarakat.
Mungkin saat inilah saatnya pemerintah memberikan keleluasaan kepada para petani untuk menentukan nasibnya sendiri sesuai dengan daerah-daerahnya masing-masing, kemana hasil tani itu akan disalurkan. Gambaran jelasnya adalah menggalakkan kembali penyediaan lumbung-lumbung di desa-desa seperti jaman dulu jadi tidak hanya di pusat kota saja. Jaman dulu masyarakat dikenal makmur dalam hal pertanian karena di setiap rumahnya memiliki lumbung-lumbung untuk menaruh bahan makanan yang tahan lama. Para petani menentukan sendiri harga dari hasil taninya kepada pedagang, sehingga petani bisa dianggap sebagai petani pengusaha, karena penentu harga pertama dari bahan pokok yang dihasilkan dari keringatnya.
Tidak ada salahnya jika saat ini pemerintah menyelenggarakan kajian ke desa-desa penghasil pangan. Jika memungkinkan membuat lumbung di setiap desa, kecamatan dan kabupaten sehingga proses distribusi bahan pangan dari petani ke pemerintah tidak memakan biaya mahal. Pemerintah cukup membuat regulasi yang mengatur bagaimana bahan-bahan makanan ini bisa sampai kembali ke masyarakat dengan harga terjangkau. Sedangkan penentuan berapa persen alokasi dari hasil pertanian yang didistribusikan kepada daerah lain yang bukan darah petani sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah, semisal di kota-kota dan daerah lainnya. Disinilah nanti akan tercipta pasar daerah, jadi sederhananya pemerintah tidak bisa memberikan harga beras di kota sama dengan harga beras di desa karena dampaknya akan sangat menyengsarakan masyarakat desa yang notabene adalah petani.
Kedua, Pemerintah secara ketat mengawasi jika perlu  mengkaji bahan-bahan obat pembasmi hama yang digunakan petani harus benar-benar aman dari lingkungan. Saya sering mendengar para petani berujar “jaman sekarang hama yang memakan tanaman sepertinya lebih kuat dari jaman dulu, dan bahkan kadang lebih banyak”. Jaman sekarang tidak mungkin menghasilkan tanaman yang baik tanpa obat-obat kimia. Yang dimaksud pak tani adalah mereka tidak akan bisa membasmi hama yang meyerang tanaman mereka jika tidak membeli obat dengan harga mahal. Para petani sudah pengalaman bahwa obat yang mahal harganya ternyata lebih baik dan bisa membunuh hama dengan cepat. Ironisnya yang saya dengar dari petani sendiri, obat-obat yang mahal itu bisa membunuh hama penyerang tanamannya sekaligus membunuh hewan-hewan yang semestinya menjadi penunjang bagi keberlangsungan kehidupan tanamana mereka, seperti katak-katak kecil, cacing tanah dan hewan-hewan lain yang seharusnya tidak ikut mati.
Sedangkan mengenai masalah harga yang tidak terjangkau, pemerintah harus turun tangan membereskan kejahatan mafia industri obat-obatan bagi pertanian yang sengaja mencari untung sebesar-besarnya tanpa mengindahkan efek dari lingkungan akibat produk yang dihasilkan mereka. Para akademisi yang nantinya bergerak dibidang industri obat-obatan pembasmi hama tanaman juga harus diperhatikan. Jika perlu memberikan alokasi dana yang besar untuk melakukan riset dan kajian-kajian yang mendalam bagaimana menghasilkan obat yang aman bagi lingkungan yang menjadi media bagi kelangsungan industri pertanian. Juga harus berani memberikan kesejahteraan lebih bagi para insinyur-insinyur terbaik yang menyumbang lebih banyak dibidang pertanian.
Ketiga, Masalah kelangkaan pupuk sebenarnya hanyalah sandiwara yang sudah diketahui umum. Pupuk yang disediakan pemerintah tidak terdistribusi dengan baik dikarenakan ulah nakal para distributor dan kentalnya kong kalikong antara penegak hukum dan para distributor penimbun pupuk. Jika memang pemerintah serius mengatasi masalah kelangkaan pupuk dan pemalsuan pupuk maka harus berani jika perlu membentuk satgas mafia industri perpupukan Indonesia.
Tulisan ini hanyalah sikap emosional saya terhadap “yang katanya” matinya petani indonesia. Maka mohon jangan dianggap sebagai sikap pembelaan terhadap petani, walaupun saya adalah anak petani. Para petani adalah orang-orang luar biasa yang sangat berjasa bagi keberlangsungan hajat hidup orang banyak, tanpa dibela pun mereka dengan ikhlas berusaha menyuburkan tanah mereka dan berusaha memberikan hasil tani terbaiknya untuk orang banyak. Karena manusia tidak akan bisa hidup tanpa petani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar