Senin, 28 November 2011

Kehidupan Petani Indonesia


Ada sebuah cerita tentang salah seorang Petani Indonesia, begini ceritanya :
 Petani desa terpencil dengan luas lahan sekitar 1000 m2. Jangankan pestisida, pupuk pun tahunya hanya urea. Menurut cerita kakek dia mulai bertani sejak umur 20 tahunan, kehidupan bertani dimulai sejak terlepasnya predikat buruh tani dari bahunya.
Sampai sekarang kakek masih tetap bertani. Umur kakek saya sekarang sudah 95 tahun, berarti beliau sudah bertani selama 75 tahun. Dan jika dihitung berapa kali beliau menanam padi kira-kira sudah 150 kali. Kakek mempunyai sebuah rumah semi permanen dengan dinding yang belum diplester masih berbentu bata. Itupun hasil karya para putra-putranya beberapa tahun yang lalau. Beliau memiliki sepeda kayuh 1 buah dan kambing 5 ekor. Dan kalau saya rupiahkan kekayaan kakek tidak lebih dari 5 juta rupiah. Itupun diraih dari hasil kerja keras dan penuh keprihatinan serta kesederhanaan.
Itulah sekilas gambaran mayoritas petani indonesia sekarang ini. Lalu salah siapa ini? Padahal jasa beliau tidaklah dapat dihitung, coba anda pikirkan siapakah yang telah memberi makan berjuta-juta penduduk indonesia sejak 75 tahun silam sampai sekarang? Tetapi kenapa nasib petani kita masih seperti itu.
Menurut cerita dari rekan-rekan PPL senior, pemerintah telah menurunkan dana bertrilyunan untuk membantu petani kita. Untuk mendukung bergulirnya dana tersebut pemerintah juga membuat program pendampingan dari mulai KUT, BPLM, SMD sampai PUAP. Tapi mengapa petani masih tetap miskin? Apa ada yang salah dengan kebijakan pemerintah tersebut?
Saya kira pemerintah perlu membuat design kebijakan yang baru yang lebih bisa memahami kondisi riil mayoritas petani kita, dengan strategi yang lebih menggigit. Kalau hal tersebut tidak dilakukan, saya jamin kehidupan petani kita akan semakin terpuruk dan secara otomatis akan memutus siklus hidup para petani kita.
Negara indonesia akan kehilangan petani-petaninya karena sudah tidak ada generasi penerus petani yang mau bertani. Hal ini terjadi karena kaum muda menganggap mata pencaharian sebagai petani sudah tidak layak dan rendah bahkan hina. Mereka menganggap sudah tidak ada yang bisa diharapkan dari kehidupan bertani. Lalu mereka akan berbondong-bondong untuk mencari pekerjaan lain. Yang menjadi pertanyaan saya, Siapakah nanti yang akan menanam padi lagi ketika generasi tua sudah habis? Apakah anak-anak dari pak tani mau bertani?
Bangsa ini akan kehilangan lahan-lahan pertaniannya karena sudah tidak ada yang mau bertani lagi. Dan secara otomatis lahan-lahan pertanian tersebut akan disulap menjadi lahan yang penuh dengan bangunan. Sehingga negara kita akan kehilangan gelar sebagai Negara Agraris.
Untuk merubah gambaran keadaan masa depan suram tentang Indonesia itu, tentunya pemerintah harus membuat iklim pertanian dan perekonomian yang mendukung untuk petani kecil. Iklim yang bisa memudahkan petani kecil untuk tumbuh dan mengembangkan usahanya sehingga petani akan dengan mudah mencapai kesejahteraan hidup dari sisi materi. Kesejahteraan yang selama ini hanya menjadi impian mereka.
Dengan terbentuknya iklim yang mendukung kehidupan petani secara otomatis menjadikan anak turun mereka akan sangat bangga menerima warisan pekerjaan sebagai petani. Jika hal ini terjadi maka pemerintah tidak perlu lagi ragu akan masa depan pertanian indonesia, karena akan terbentuk petani generasi muda yang tangguh dan cakap serta mau dan mampu menerima inovasi teknologi.
Saya menjadi sangat emosional jika melihat ulasan atau tulisan yang menjelaskan tentang “kematian” para petani kita, petani Indonesia. Apalagi jika melihat dari dekat fakta bahwa petani kita memang bisa dianggap bukan petani “pengusaha”, melainkan petani “buruh”. Baiklah saya menerima karena itu memang kenyataannya. Saya adalah cucu petani, saudaranya petani dan tetangga para petani.
Tapi kenyataan itu tidak lantas membuat kita harus terus menangisi petani kita. Apakah ada solusi dari masalah diatas. Saya yakin selalu ada. Karena tidak ada masalah yang tidak ada jalan keluarnya. Saya ingin melihat masalah ini dari kacamata saya sendiri sebagai orang yang tidak bisa dikatakan dekat tetapi sejak kecil melihat kehidupan para petani.
Ternyata masalah yang sangat mengganggu para petani yang saya lihat adalah bagaimana sulitnya mereka mengontrol harga dari hasil pertaniannya, kelangkaan pupuk saat tanam dan mahalnya harga-harga obat pembasmi hama yang menyerang tanaman mereka. Selalu itu yang menjadi masalah terutama sejak era reformasi berlangsung. Nenek saya pernah bercerita, dulu menanam apapun di ladang rasanya sangat mudah. Tidak perlu pupuk macam-macam dan obatan-obatan kimia yang aneh-aneh.
Ketiga masalah diatas adalah konsekuensi dari adanya tiga pilar utama industri yang menunjang kehidupan seluruh masyarakat kita. Industri pupuk, industri obat-obatan, dan industri tani itu sendiri, yaitu petani yang menjadi pekerja lapangan yang langsung berhadapan dengan sawah, ladang dan kebun yang mereka miliki. Disinilah keuletan dan ketrampilan para petani yang dibutuhkan.
Sayangnya untuk menjadi petani umumnya masyarakat kita tidak harus mengenyam pendidikan yang tinggi. Kultur dari masyarakat negara Indonesia adalah kultur tani, sehingga sekuat apapun tenaga yang diberikan oleh para penyelenggara negara untuk menyejahterakan rakyatnya tidak akan pernah berhasil jika negara tidak memberi perhatian yang serius kepada ketiga industri diatas.
Sedangkan dua industri yang lain yaitu pupuk dan obat-obatan yang notabene para praktisinya harus mengenyam pendidikan yang tinggi selalu menjadi momok yang menakutkan bagi para petani. Industri penunjang pertanian ini juga tidak bisa disalahkan karena mereka berdiri atas dasar dedikasinya yang diperuntukkan untuk para petani, sehingga menghasilkan produk-produk yang bermanfaat untuk memajukan industri pertanian. Bagaimanapun kedua industri tersebut tidak boleh mati, karena sebagai penunjang bagi berlangsungnya kehidupan petani dan industri pertanian itu sendiri.
Sebuah Solusi
Malu sebenarnya mengatakan ini sebuah solusi, tapi menurut saya, sah-sah saja kita menyampaikan sebuah pendapat, syukur-syukur jika pendapat itu menjadi pertimbangan bagi penyelesaian sebuah masalah.
Menurut hemat saya, para petani yang terhormat itu tidak dapat dipersalahkan karena mereka adalah korban dari buruknya sebuah sistem dan ketidaktahuan, atau ketidakmauan para penyelenggara negara dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ada di negeri ini. Mimpi saya kelak jika para penyelenggara negara tidak lagi menganggap dirinya sebagai manusia yang harus dilayani serta dihormati dan berganti menjadi manusia pelayan, maka semua masalah yang melingkupi hidup berbangsa dan bernegara ini akan berangsur-angsur akan selesai dengan sendirinya. Mudah-mudahan itu tidak lama lagi.
Lalu apakah kita akan menunggu masalah akan selesai dengan sendirinya ? saya harap tidak.
Pertama, berkaca kepada fakta di lapangan, saya sering melihat ketika seorang tengkulak menawar harga padi yang dipanen seorang petani. Para tengkulak ini menawar dengan harga rendah dengan memberi alasan logis, “karena harga dipasaran memang segitu, kalau tidak segitu nanti saya tidak dapat untung”. Jadi siapa sebenarnya yang menciptakan pasar. Tentu saja penyelenggara negara. Faktanya adalah tempat terakhir dari padi yang dihasilkan oleh petani ini nantinya akan lari ke lumbung-lumbung yang telah disediakan pemerintah. Artinya pemerintahlah yang membeli padi dari para petani.
Karena mayoritas dari masyarakat di indonesia ini adalah petani, maka saya kurang setuju jika pemerintah membuat lumbung (gudang-gudang) hanya di pusat kota yang disiapkan untuk mengantisipasi agar tetap tersedia bahan-bahan pokok untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh Indonesia. Yang saya maksud adalah pemerintah menentukan harga jual bahan-bahan hasil tani ini dengan harga yang menyulitkan masyarakat dengan alasan yang sekali lagi “logis” karena mahalnya proses pembelian bahan pangan ini dari petani sampai berada di lumbung milik pemerintah. Proses itu adalah termasuk transportasi, pemeliharaan tempat, dan manajemen penyaluran kembali kepada masyarakat.
Mungkin saat inilah saatnya pemerintah memberikan keleluasaan kepada para petani untuk menentukan nasibnya sendiri sesuai dengan daerah-daerahnya masing-masing, kemana hasil tani itu akan disalurkan. Gambaran jelasnya adalah menggalakkan kembali penyediaan lumbung-lumbung di desa-desa seperti jaman dulu jadi tidak hanya di pusat kota saja. Jaman dulu masyarakat dikenal makmur dalam hal pertanian karena di setiap rumahnya memiliki lumbung-lumbung untuk menaruh bahan makanan yang tahan lama. Para petani menentukan sendiri harga dari hasil taninya kepada pedagang, sehingga petani bisa dianggap sebagai petani pengusaha, karena penentu harga pertama dari bahan pokok yang dihasilkan dari keringatnya.
Tidak ada salahnya jika saat ini pemerintah menyelenggarakan kajian ke desa-desa penghasil pangan. Jika memungkinkan membuat lumbung di setiap desa, kecamatan dan kabupaten sehingga proses distribusi bahan pangan dari petani ke pemerintah tidak memakan biaya mahal. Pemerintah cukup membuat regulasi yang mengatur bagaimana bahan-bahan makanan ini bisa sampai kembali ke masyarakat dengan harga terjangkau. Sedangkan penentuan berapa persen alokasi dari hasil pertanian yang didistribusikan kepada daerah lain yang bukan darah petani sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah, semisal di kota-kota dan daerah lainnya. Disinilah nanti akan tercipta pasar daerah, jadi sederhananya pemerintah tidak bisa memberikan harga beras di kota sama dengan harga beras di desa karena dampaknya akan sangat menyengsarakan masyarakat desa yang notabene adalah petani.
Kedua, Pemerintah secara ketat mengawasi jika perlu  mengkaji bahan-bahan obat pembasmi hama yang digunakan petani harus benar-benar aman dari lingkungan. Saya sering mendengar para petani berujar “jaman sekarang hama yang memakan tanaman sepertinya lebih kuat dari jaman dulu, dan bahkan kadang lebih banyak”. Jaman sekarang tidak mungkin menghasilkan tanaman yang baik tanpa obat-obat kimia. Yang dimaksud pak tani adalah mereka tidak akan bisa membasmi hama yang meyerang tanaman mereka jika tidak membeli obat dengan harga mahal. Para petani sudah pengalaman bahwa obat yang mahal harganya ternyata lebih baik dan bisa membunuh hama dengan cepat. Ironisnya yang saya dengar dari petani sendiri, obat-obat yang mahal itu bisa membunuh hama penyerang tanamannya sekaligus membunuh hewan-hewan yang semestinya menjadi penunjang bagi keberlangsungan kehidupan tanamana mereka, seperti katak-katak kecil, cacing tanah dan hewan-hewan lain yang seharusnya tidak ikut mati.
Sedangkan mengenai masalah harga yang tidak terjangkau, pemerintah harus turun tangan membereskan kejahatan mafia industri obat-obatan bagi pertanian yang sengaja mencari untung sebesar-besarnya tanpa mengindahkan efek dari lingkungan akibat produk yang dihasilkan mereka. Para akademisi yang nantinya bergerak dibidang industri obat-obatan pembasmi hama tanaman juga harus diperhatikan. Jika perlu memberikan alokasi dana yang besar untuk melakukan riset dan kajian-kajian yang mendalam bagaimana menghasilkan obat yang aman bagi lingkungan yang menjadi media bagi kelangsungan industri pertanian. Juga harus berani memberikan kesejahteraan lebih bagi para insinyur-insinyur terbaik yang menyumbang lebih banyak dibidang pertanian.
Ketiga, Masalah kelangkaan pupuk sebenarnya hanyalah sandiwara yang sudah diketahui umum. Pupuk yang disediakan pemerintah tidak terdistribusi dengan baik dikarenakan ulah nakal para distributor dan kentalnya kong kalikong antara penegak hukum dan para distributor penimbun pupuk. Jika memang pemerintah serius mengatasi masalah kelangkaan pupuk dan pemalsuan pupuk maka harus berani jika perlu membentuk satgas mafia industri perpupukan Indonesia.
Tulisan ini hanyalah sikap emosional saya terhadap “yang katanya” matinya petani indonesia. Maka mohon jangan dianggap sebagai sikap pembelaan terhadap petani, walaupun saya adalah anak petani. Para petani adalah orang-orang luar biasa yang sangat berjasa bagi keberlangsungan hajat hidup orang banyak, tanpa dibela pun mereka dengan ikhlas berusaha menyuburkan tanah mereka dan berusaha memberikan hasil tani terbaiknya untuk orang banyak. Karena manusia tidak akan bisa hidup tanpa petani.

Jumat, 25 November 2011

Pengaruh Media Sosial dalam Sosialisasi Masyarakat

Media sosial telah memainkan peran besar dalam membentuk transformasi cara orang berkomunikasi dengan satu sama lain. Hanya satu dekade lalu hanya digunakan orang untuk baik untuk minum kopi, berhenti oleh rumah satu sama lain atau mengangkat telepon dan menelepon, tetapi masyarakat modern adalah dunia yang serba cepat.

              Dalam dunia yang didominasi oleh teknologi, dan banyak individu memiliki kebutuhan bawaan untuk aliran terus menerus informasi, jaringan sosial secara efektif memenuhi keinginan kemampuan untuk mengirim dan menerima lebih cepat,secara langsung, .

              Sementara orang-orang masih dapat berinteraksi dengan satu sama lain dengan 'cara tradisional' seperti panggilan kopi atau telepon, hari ini banyak orang lebih cenderung untuk belajar atau menerima berita terbaru tentang satu sama lain melalui Facebook bukan dari pribadi menginformasikan. Berapa banyak orang belajar tentang kejadian keluarga dan teman-teman online. Bahkan dari mereka yang tinggal di dekatnya.

             Apakah ini sebuah evolusi yang negatif? Mungkin, tapi dalam beberapa hal kemampuan untuk bersosialisasi secara global dapat menjadi positif. Berikut adalah beberapa cara jaringan sosial telah mempengaruhi sosialisasi, untuk lebih baik atau lebih buruk:

♦ Panggilan Telepon Kurang

             Sementara banyak orang menjadi terikat dan tergantung pada ponsel mereka, ini memiliki lebih semakin berevolusi dari menelepon untuk communcating melalui pesan teks. Namun, dengan smartphone menjadi semakin populer, kemampuan web dan aplikasi untuk memungkinkan orang untuk dengan mudah menikmati jejaring sosial melalui perangkat mobile mereka mungkin lambat, tapi pasti scaling kembali kebutuhan untuk benar-benar berbicara dengan orang lain. Hari ini banyak komunikasi terjadi melalui teks elektronik dan persentase yang tinggi kemungkinan terjadi melalui jaringan sosial.

♦ Penurunan Face to Interaksi Wajah

            Menjadi begitu banyak orang menghabiskan banyak waktu di situs jaringan sosial, harus ada manfaat atau yang lain orang tidak akan memanjakan diri. Hal ini mungkin kenyamanan semata sosialisasi online membuat pilihan ini untuk menghubungkan dengan orang lain yang sangat populer dan menarik.

            Namun dalam usia di mana waktu sering merasa berada pada premium, banyak orang cenderung untuk berhubungan dengan teman dan keluarga di jaringan sosial daripada menghabiskan waktu bersosialisasi secara pribadi. Akibatnya ini berakhir dengan wajah yang kurang untuk menghadapi interaksi, yang akhirnya dapat secara signifikan mempengaruhi hubungan pribadi. informasi. Satu orang mengirimkan pesan, ada pilihan untuk mengirim ke semua orang di jaringan. Facebook dan Twitter adalah dua jaringan yang paling populer saat ini di 2010 dan masing-masing menawarkan cara mengirimkan sebuah pesan tunggal di mana ia dapat dialirkan untuk semua koneksi.


           Dalam hal ini orang yang menerima sejumlah besar informasi, tetapi tidak selalu menjawab dan 'berbicara' satu-satu. Jika tren ini berlanjut maka akan menarik untuk melihat bagaimana dinamika hubungan berkembang. Hubungan yang telah menurunkan tingkat interaksi individu mungkin menderita atau menjadi jauh.

♦ Informasi Lebih Lanjut Bersama

           Salah satu aspek menarik dari jaringan sosial adalah kemampuan untuk berbagi dan menerima informasi. Semakin besar jaringan, semakin banyak informasi yang tersebar. Dalam hal ini orang yang terkena kehidupan yang berbeda dan memperoleh wawasan yang tajam tentang bagaimana orang lain hidup dan apa yang mereka pikirkan, baik dekat dan jauh. Memperluas pada pengetahuan akrab dan belajar informasi baru adalah kesempatan hebat.

♦ Keanekaragaman

            Melalui jaringan sosial orang-orang yang tidak akan pernah memiliki kesempatan untuk berinteraksi dapat berbagi pemikiran, pengetahuan dan ide. Keragaman orang dan informasi yang terletak di web tidak kekurangan menakjubkan.

          Orang hari ini dapat belajar banyak lainnya menggunakan platform teknologi jaringan sosial menyediakan dalam rangka untuk berinteraksi. Pengetahuan dan wawasan dapat diperoleh melalui berbagai persepsi dan perspektif dari banyak orang yang sekarang dapat bersosialisasi secara lokal di jaringan global. Dunia ini tentu menjadi tempat yang lebih kecil untuk berkat teknologi seperti jaringan sosial.

           Jejaring sosial memiliki dampak signifikan pada sosialisasi. Beberapa dari perubahan ini untuk lebih baik, beberapa lebih buruk. Dengan setiap perkembangan baru dalam setiap masyarakat selalu ada akan beberapa pengorbanan untuk memperoleh manfaat. Setiap anggota masyarakat harus secara individual memutuskan apakah atau tidak ini pengorbanan yang sepadan dengan biaya.

           Bagaimana jaringan sosial pada akhirnya dampak sosialisasi secara keseluruhan masih harus dilihat, namun kecenderungan ini terus berlanjut, tampaknya bahwa dunia beberapa dekade dari sekarang hampir tidak akan mengenali akrab selama percakapan pagar antara tetangga dan mengangkat telepon untuk membuat panggilan.

Sisi Positif

1. Media Interaksi Sosial
Inilah yang biasanya menjadi alasan pengguna situs jejaring sosial. Melalui situs tersebut pengguna dapat berkomunikasi secara mudah, cepat, dan murah. Melalui situs itu pula para pengguna dapat mencari keberadaan teman lama, menemukan teman baru, dan menemukan orang-orang yang memiliki kesamaan hobi dan aktivitas.

2. Sarana Ekspresi Diri
Ingat cerita sukses Sinta dan Jojo? Kabarnya, mereka meng-upload video mereka di Youtube dan menyebarkannya melalui account Facebook. Otomatis, ekspresi Sinta dan Jojo tersebut mendapat tanggapan dari pengunjung Youtube dan pengguna Facebook. Kemudian, berita tentang video itu semakin tersebar dan ditangkap oleh media massa. Akhirnya, jadilah Sinta dan Jojo pendatang baru di dunia hiburan Indonesia.

3. Sarana Berbagi
Melalui situs jejaring sosial, kita dapat berbagi banyak hal, mulai pengalaman, cerita, pengetahuan, dan banyak lagi yang lain.

4. Media Bisnis
Facebook dapat berkembang dengan pesat di antaranya karena banyak yang menyadari bahwa situs jejaring sosial dapat digunakan sebagai lahan bisnis.


Sisi Negatif

Selain sisi positif, ternyata jejaring sosial juga memiliki sisi negatif. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Masyarakat Internet Indonesia, 58% pengguna jejaring sosial di Indonesia tidak sadar atas dampak negatif yang mungkin mereka alami. Para pengguna yang tidak sadar tentu saja tidak akan siap menghadapi berbagai dampak negatif yang mungkin dialami.


1. Pelanggaran Hak Cipta
Seperti telah dikemukakan di depan, situs jejaring sosial dapat digunakan sebagai media untuk berbagi. Di antara materi yang dapat dibagi adalah tulisan, gambar, dan video. Ketiga hal ini tentu saja memiliki hak cipta, pengguna situs jejaring sosial tidak boleh memajangnya seenak hati. Paling tidak, hal yang harus dilakukan adalah mencantumkan sumber aslinya. Dengan mencantumkan sumber, setidaknya kita telah melakukan tiga hal, (1) menghormati pemilik asli, (2) mengamankan diri dari pelanggaran undang-undang (UU No. 19 Tahun 2002), (3) mengamankan diri jika ternyata materi yang kita kutip ternyata bermasalah (mudah ditelusuri sumbernya).

2. Penyia-nyiaan Waktu Produktif
Saat ini banyak orang yang menggunakan situs jejaring sosial pada waktu seharusnya mereka bekerja. Penggunaan situs jejaring sosial itu tidak jarang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Hal ini lebih parah lagi jika terjadi pada mereka yang sampai tahap kecanduan.

3. Kesehatan
Aktivitas berjejaring sosial menyebabkan kita berlama-lama di depan komputer sehingga berakibat buruk bagi kesehatan. Di antara akibat buruk tersebut adalah computer vision syndrome (CVS), yaitu kondisi yang diakibatkan terlalu lama di depan komputer. Di antara gejala CVS adalah sakit kepala, penglihatan kabur, sakit leher, kelelahan, ketegangan mata, iritasi mata, penglihatan ganda, polyopia, dan kesulitan memokuskan penglihatan (en.wikipedia.org). Selain CVS, masih ada penyakit nyeri bahu, nyeri tungkai, nyeri leher, nyeri pada pinggang bagian bawah, nyeri kepala, nyeri pada pergelangan tangan, dan nyeri lengan.

4. Antisosial
Terlalu aktif di dunia maya kerap membuat kita lalai bersosialisasi di dunia nyata. Semakin lama kita melakukan hal ini, semakin terbatas pergaulan kita sehingga bisa jadi kemudian menjadi sosok yang antisosial.

5. Boros
Berdasarkan surveri Masyarakat Internet Indonesia, pengguna internet di Indonesia rata-rata menghabiskan Rp200.000 s.d. Rp500.000 tiap bulan (detikinet.com). Angka ini cukup tinggi untuk rata-rata orang Indonesia. Tentu, angka demikian tidaklah pantas jika dimanfaatkan untuk aktivitas berjejaring sosial semata.

6. Aksi Kejahatan
Akhir-akhir ini tersiar kabar account Facebook yang privasi profilnya dibuka ke publik bisa diakses oleh orang lain hanya dengan skrip sederhana. Hal ini tentu memudahkan orang lain untuk melakukan hal-hal yang tidak diinginkan atas diri kita. Banyak jenis kejahatan yang yang berawal dari aktivitas berjejaring sosial, mulai pencemaran nama baik, pemalsuan identitas, penculikan, hingga pembunuhan.

Jalan Tengah yang dapat kita ambil :
1. Memanfaatkan situs jejaring sosial seperlunya
2. Memasang informasi seperlunya
3. Memilih situs jejaring sosial sesuai kebutuhan
4. Selalu meng-update pengetahuan tentang aktivitas berjejaring sosial yang sehat dan aman











Jakarta Keras


"Siapa suruh datang ke Jakarta" yang mencerminkan sulitnya hidup dan mencari kerja di Jakarta sudah tersebar ke daerah lain. Hal ini dinilai sebagai salah satu sebab Jakarta tidak lagi menarik bagi pendatang baru untuk mengadu nasib. Kebutuhan akan lapangan kerja sangat strategis bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Itu mengapa banyak masyarakat daerah berlomba – lomba menuju Jakarta. Sebuah kota yang dianggap layak dan memberikan peluang mendapatkan kesempatan kerja lebih besar. Apalagi branding  Jakarta dikenal sebagai pusat kota penuh keramaian, pusat ekonomi dan perdagangan nasional. Tidak heran, banyak masyarakat pedesaan bermimpi dapat bekerja di Jakarta.
Akibat serbuan pendatang, Jakarta semakin penuh menampung penduduk. Mereka datang mengadu nasib dan berharap kesejahteraan hidup semakin meningkat. Tapi, mimpi kadang tidak sesuai dengan kenyataan dimana kerasnya Jakarta membuat mereka terlempar. Jadilah pilihan hidup membuat mereka menyingkir ke pinggiran Jakarta. Kondisi ini mengundang masalah sosial baru seperti membludaknya pengangguran, kriminalitas dan rapuhnya tata pembangunan kota.
Menurut Kepala Dukcapil DKI Jakarta Purba Hutapea, jumlah pendatang baru pasca lebaran ke DKI Jakarta dalam kerangka perpindahan penduduk menunjukan trend yang menurun dihitung pada tahun 2003 sebanyak 204.830 orang, tahun 2004 sebanyak 190.356 orang, tahun 2005 sebanyak 180.767 orang, tahun 2006 sebanyak 124.427 orang, tahun 2007 sebanyak 109.617 orang, tahun 2008 sebanyak 88.473 orang, tahun 2009 sebanyak 69.554 orang, dan pada 2010 tercatat 59.215 orang. Tahun ini pendatang baru diperkirakan sebanyak kurang lebih 50.000 orang.
Jumlah itu menghasilkan masalah serius bagi kehidupan bermasyarakat masyarakat Jakarta. Kemiskinan dan pengangguran menghantui sebagai ekses “masyarakat baru” di Jakarta. Mengatasi masalah itu, pemerintah DKI Jakarta kembali memaksimalkan program transmigrasi. Tahun 2011 Pemprov DKI Jakarta mengirimkan 200 KK (800 jiwa) menjadi transmigran. Sasaran program adalah masyarakat wilayah kumuh, bantaran dan rel kereta api. Strategi ini sangat baik, apalagi mengingat data Disnaker DKI Jakarta yang menyebutkan, pada 2009 sebanyak 100 KK asal DKI Jakarta berhasil ditransmigrasikan ke Kalimantan Selatan, Sumatera Utara, Bengkulu dan Sulawesi Tenggara.
Dampak negatif                                                   
Mobilitas penduduk yang gemuk meninggalkan pekerjaan rumah besar. Jakarta mengalami ketimpangan antara daya tampung dan luas wilayah.  Dampak lebih jauh, factor ini menghasilkan bahaya besar.
Pertama, munculnya kemiskinan kota. Jumlah penduduk Jakarta yang tersingkir semakin banyak. Mau tidak mau ini membawa konsekuensi logis tumbuhnya wilayah kumuh. Gejala ini sudah dapat dilihat di wilayah Kampung Melayu, Manggarai dan Pasar Senen. Sepanjang jauh mata memandang, kita akan menemukan kawasan kumuh terbentang. Berdasarkan Data Cipta karya, banyak ratusan kawasan kumuh di Jakarta.
Kemunculan pemukiman kumuh sangat rawan bagi perkembangan tata kota. Mereka membuat rumah di wilayah bantaran kali dan rel kereta api sehingga merusak tata indah perkotaan, rawan penyakit dan membahayakan perjalanan kereta api. Selain itu, permukiman kumuh dapat menghasilkan komunitas penduduk illegal seperti RT Bayangan pada kawasan kumuh Rawamangun.
Kedua, meningkatnya angka kriminalitas. Di tengah semakin sulitnya mencari lapangan pekerjaan, manusia mudah terbakar emosi. Tindakan kriminal akhirnya menjamur dan berkembang semakin liar. Masyarakat terus mendapat ancaman dan hantu pencopetan di bus kota, pembunuhan dan pemerkosaan dalam angkutan kota. Apalagi tingkat keamanan dan pengawasan kepolisian Daerah (Polda Metro Jaya) kadang tak sesuai harapan. Banyak aparat penegak hukum bertindak tegas kecuali jika ada laporan.
Berdasarkan data yang dirilis Polda Metro Jaya usai melakukan Operasi “Sikat Jaya 2011″.  terdapat 182 kasus kejahatan dengan 259 tersangka, 208 sudah ditahan dan sisanya, 51 hanya dibina, 259 penjahat ditangkap di dalam angkutan umum. Operasi ini sendiri dilakukan selama dua pekan sejak 17 September hingga 30 September 2011
Ketiga meningkatnya pengangguran. Menurut data Disnakertrans Provinsi DKI Jakarta, jumlah pengangguran yang tercatat di DKI Jakarta pada 2010 mencapai 582.850. Dari data yang ia miliki, sepajang tahun 201, Jakarta memiliki 146.349 sektor usaha. Jumlah tersebut didominasi oleh sektor industri makanan yaitu sebanyak 39.676 atau 25,56 persen, sektor perdagangan sebesar 25.006 atau 17,09 persen, serta sektor transportasi, gudang dan telekomunikasi sebanyak 17.517 atau 11,9 persen.  Banyaknya perusahaan tidak menjamin rakyat Jakarta mendapatkan pekerjaan akibat minimnya keterampilan dan masih banyak perusahaan yang lebih suka memberikan porsi besar untuk tenaga atau SDM asing dibandingkan SDM Indonesia.
OYK : Kebijakan Setengah Hati
Mengatasi kemiskinan, pemerintah DKI Jakarta menerapkan kebijakan Operasi Yustisi Kependudukan (OYK). Kegiatan “razia KTP” ini diharapkan dapat mengatasi membludaknya pendatang illegal. Operasi Yustisi Kependudukan (OYK) ini direncanakan serentak di lima wilayah kota administrasi. Waktunya dilaksanakan tanggal 22 September 2011, 13 Oktober, dan 3 November 2011. Sasarannya terutama pada rumah kos, pemukiman padat sebagai kantong-kantong pendatang baru, daerah-daerah industri rumah tangga, dan apartemen.
Operasi ini sungguh bukan sebuah jawaban pas mengatasi masalah mobilitas penduduk. Seharusnya pemerintah DKI lebih bersikap bijak, meminta Pemerintah Pusat mengadakan pemerataan ekonomi di daerah-daerah Indonesia. Sehingga laju pendatang dapat ditekan. Bukan mempercantik Jakarta saja, sementara daerah lain masih dibiarkan tertinggal baik ekonomi, sosial, budaya dan lainnya.
Pemerintah Jakarta juga harus bergerak aktif membuat usaha kreatif. Jangan terus mengandalkan pameran kerja yang belum banyak menyerap tenaga kerja. Penataan pemukiman kumuh harus dilakukan secepatnya, termasuk membuat rumah murah yang dapat dijangkau harganya oleh rakyat. Nah, jika sudah begitu masyarakat akan selalu dihadapkan oleh situasi klasik yaitu mencari atau bertahan hidup di Jakarta.

Kita akan mengangkat salah satu kasus, yaitu “Anak Jalanan di Jakarta”
Kehidupan anak jalanan dapat diartikan sekelompok orang yang hidup di  jalan, dapat di jelaskan disini, mereka “mengais” reziki dijalan dengan segala aktifitasnya, diantaranya, dari pedagang asongan, pengemis, pengamen, dan lain sebagainya.

Mereka hidup karena keterpaksaan kebutuhan ekonomi, orang tua mereka tidak mampu memberikan kehidupan yang layak. Kehidupan layak di Ibukota khususnya di Jakarta memang sangat tinggi, karena biaya hidup di Jakarta masih sangat tinggi dari biaya anak sekolah, walaupun gratis tetap saja harus bayar ini dan itu,, sama saja baik itu sekolah berbayar atau tidak.

Tentunya kehidupan mereka sangat keras, karena harus bersaing dengan anak-anak jalanan lainnya, seperti mereka berjualan di tengah hari yang panas maupun dibawah guyuran hujan hingga malam hari, ada juga yang mengamen dari bus atau angkutan kota yang tingkat bahanyanya tinggi karena dia harus berpindah dari satu kendaraan umum kekendaraan umum lainya walapun bus sedang berjalan.   Itu salah satu aktifitas kehidupan anak jalanan yang mungkin jumlahnya ribuan, dengan persaingan yang tinggi  tersebut mereka harus berkerja keras menghidupi dirinya bahkan keluarganya. Dengan demikian Pendidikan atau sekolah yang mereka dapatkan sangat terbatas karena mereka sangat lebih mementingkan kebutuhan ekonomi dibanding mereka bersekolah. Tentunya kita sangat miris melihatnya, bila kita jumpai di jalan banyak balita yang dipekerjakan di jalan, bahkan ada yang disewakan, sungguh ironis kehidupan Jakarta yang serba gemerlap dan glamor, ternyata dibalik itu ada kesenjangan  sosial yang tinggi, di karenakan jumlah anak-anak jalanan kehidupannya  sangat begitu menyedihkan.

Dari keterbasaan dan kemiskinan itu muncul anak-anak jalanan, yang tiap tahunnya kian bertambah banyak seiring kian banyaknya urbanisasi dari daerah ke Jakarta yang tidak sebanding lagi. Walapun dari pihak Pemerintah sudah membuat program kerja dintaranya sekolah gratis khusus anak jalan, sampai dangan penyuluhan atau pembekalan, praktek kerja seperti diajarkannya, perbengkelan mobil & motor, menjahit dan sebagainya  kepada anak-anak jalanan.agar mereka bisa hidup mandiri kelak.