Pada
Hari Kemiskinan Internasional lalu berbagai pihak menyatakan perang melawan
kemiskinan. Ditargetkan pada tahun 2015 Indonesia bebas dari kemiskinan. Ini
tekad yang bagus.
Namun
selain tekad, harus didukung dengan niat yang ikhlas, perencanaan, pelaksanaan
dan juga pengawasan yang baik. Tanpa itu semua hanya omong belaka.
Menghilangkan
kemiskinan boleh dikata mimpi atau hanya janji surga. Tapi mengurangi
kemiskinan sekecil mungkin bisa dilakukan. Ada beberapa program yang perlu
dilakukan agar kemiskinan di Indonesia bisa dikurangi.
Pertama,
meningkatkan pendidikan rakyat. Sebisa mungkin pendidikan harus terjangkau oleh
seluruh rakyat Indonesia. Banyaknya sekolah yang rusak menunjukkan kurangnya
pendidikan di Indonesia. Tentu bukan hanya fisik, bisa jadi gurunya pun
kekurangan gaji dan tidak mengajar lagi.
Dulu
pada tahun 1970-an, sekolah dasar dibagi dua. Ada sekolah pagi dan ada sekolah
siang sehingga 1 bangunan sekolah bisa dipakai untuk 2 sekolah dan melayani
murid dengan jumlah 2 kali lipat. Sebagai contoh di sekolah saya ada SDN
Bidaracina 01 Pagi (Sekarang berubah jadi Cipinang Cempedak 01 Pagi) dan SDN
Bidaracina 02 Petang. Sekolah pagi mulai dari jam 7.00 hingga 12.00 sedang yang
siang dari jam 12:30 hingga 17:30. Satu bangunan sekolah bisa menampung total
960 murid!
Ini
tentu lebih efektif dan efisien. Biaya pembangunan dan pemeliharaan gedung
sekolah bisa dihemat hingga separuhnya. Mungkin ada yang berpendapat bahwa hal
itu bisa mengurangi jumlah pelajaran karena jam belajar berkurang. Padahal
tidak. Sebaliknya jam pelajaran di sekolah terlalu lama justru membuat siswa
jenuh dan tidak mandiri karena dicekoki oleh gurunya. Guru bisa memberi mereka
PR atau tugas yang dikerjakan baik sendiri, bersama orang tua, atau teman-teman
mereka. Ini melatih kemandirian serta kerjasama antara anak dengan orang tua
dan juga dengan teman mereka.
Selain
itu biaya untuk beli buku cukup tinggi, yaitu per semester atau caturwulan bisa
mencapai Rp 200 ribu lebih. Setahun paling tidak Rp 400 ribu hanya untuk beli
buku. Jika punya 3 anak, berarti harus mengeluarkan uang Rp 1,2 juta per tahun.
Hanya untuk uang buku orang tua harus mengeluarkan 130% lebih dari Upah Minimum
Regional (UMR) para buruh yang hanya sekitar 900 ribuan.
Untuk
mengurangi beban orang tua dalam hal uang buku, pemerintah bisa menyediakan
Perpustakaan Sekolah. Dulu perpustakaan sekolah meminjamkan buku-buku Pedoman
(waktu itu terbitan Balai Pustaka) kepada seluruh siswa secara gratis. Untuk
soal bisa didikte atau ditulis di papan tulis.
Ini
beda dengan sekarang di mana buku harus ditulis dengan pulpen sehingga begitu
selesai dipakai harus dibuang. Tak bisa diturunkan ke adik-adiknya.
Saat
ini biaya SPP sekolah gratis hanya mencakup SD dan SMP (Meski sebetulnya tetap
bayar yang lain dengan istilah Ekskul atau Les) sedang untuk Perguruan Tinggi
Negeri biayanya justru jauh lebih tinggi dari Universitas Swasta yang memang
bertujuan komersial. Untuk masuk UI misalnya orang tahun 2005 saja harus bayar
uang masuk antara Rp 25 hingga 75 juta. Padahal tahun 1998 orang cukup bayar
sekitar Rp 300 ribu sehingga orang miskin dulu tidak takut untuk menyekolahkan
anaknya di PTN seperti UI, IPB, UGM, ITS, dan sebagainya. Meski ada surat
edaran Rektor bahwa orang tua tidak perlu takut akan bayaran karena bisa minta
keringanan, namun teori beda dengan praktek.
Boleh
dikata orang-orang miskin saat ini mimpi untuk bisa masuk ke PTN. Jika pun ada
paling cuma segelintir saja yang mau bersusah payah mengurus surat keterangan
tidak mampu dan merendahkan diri mereka di depan birokrat kampus sebagai
Keluarga Miskin (Gakin) untuk minta keringanan biaya.
Tanpa
pendidikan, sulit bagi rakyat Indonesia untuk mengurangi kemiskinan dan menjadi
bangsa yang maju.
Kedua,
pembagian tanah/lahan pertanian untuk petani. Paling tidak separuh rakyat
(sekitar 100 juta penduduk) Indonesia masih hidup di bidang pertanian. Menurut
Bank Dunia, mayoritas petani Indonesia memiliki lahan kurang dari 0,4 hektar.
Bahkan ada yang tidak punya tanah dan sekedar jadi buruh tani. Kadang terjadi
tawuran antar desa hingga jatuh korban jiwa hanya karena memperebutkan lahan
beberapa hektar!
Artinya
jika 1 hektar bisa menghasilkan 6 ton gabah dan panen 2 kali dalam setahun
serta harga gabah hanya Rp 2.000/kg, pendapatan kotor petani hanya Rp 9,6 juta
per tahun atau Rp 800 ribu/bulan. Jika dikurangi dengan biaya benih, pestisida,
dan pupuk dengan asumsi 50% dari pendapatan mereka, maka penghasilan petani
hanya Rp 400 ribu/bulan saja.
Pada
saat yang sama 69,4 juta hektar tanah dikuasai oleh 652 pengusaha. Ini
menunjukkan belum adanya keadilan di bidang pertanahan. Dulu pada zaman Orba
(Orde Baru) ada proyek Transmigrasi di mana para petani mendapat tanah 1-2
hektar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Transportasi, rumah, dan
biaya hidup selama setahun ditanggung oleh pemerintah.
Program
itu sebenarnya cukup baik untuk diteruskan mengingat saat ini Indonesia
kekurangan pangan seperti beras, kedelai, daging sapi, dsb sehingga harus impor
puluhan trilyun rupiah setiap tahunnya.
Jika
petani dapat tanah 2 hektar, maka penghasilan mereka meningkat jadi Rp 48 juta
per tahun atau bersih bisa Rp 2 juta/bulan per keluarga.
Memang
biaya transmigrasi cukup besar. Untuk kebutuhan hidup selama setahun, rumah,
lahan, dan transportasi paling tidak perlu Rp 40 juta per keluarga. Dengan
anggaran Rp 10 trilyun per tahun ada 250.000 keluarga yang dapat diberangkatkan
per tahunnya.
Seandainya
tiap keluarga mendapat 2 hektar dan tiap hektar menghasilkan 12 ton beras per
tahun, maka akan ada tambahan produksi sebesar 6 juta ton per tahun. Ini sudah
cukup untuk menutupi kekurangan beras di dalam negeri.
Saat
ini dari 2 juta ton kebutuhan kedelai di Indonesia (sebagian untuk tahu dan
tempe), 60% diimpor dari luar negeri. Karena harga kedelai luar negeri naik
dari Rp 3.500/kg menjadi Rp 7.500/kg, para pembuat tahu dan tempe banyak yang
bangkrut dan karyawannya banyak yang menganggur.
Jika
program transmigrasi dilakukan tiap tahun dan produk yang ditanam adalah produk
di mana kita harus impor seperti kedelai, niscaya kekurangan kedelai bisa
diatasi dan Indonesia tidak tergantung dari impor kedelai yang nilainya lebih
dari Rp 8 trilyun per tahunnya. Ini akan menghemat devisa.
Ketiga,
tutup bisnis pangan kebutuhan utama rakyat dari para pengusaha besar. Para
petani/pekebun kecil sulit untuk mengekspor produk mereka. Sebaliknya para
pengusaha besar dengan mudah mengekspor produk mereka (para pengusaha bisa
menekan/melobi pemerintah) sehingga rakyat justru bisa kekurangan makanan atau
harus membayar tinggi sama dengan harga Internasional. Ini sudah terbukti
dengan melonjaknya harga minyak kelapa hingga 2 kali lipat lebih dalam jangka
waktu kurang dari 6 bulan akibat kenaikan harga Internasional. Pemerintah tidak
bisa berbuat apa-apa.
Jika
produk utama seperti beras, kedelai, terigu dikuasai oleh pengusaha, rakyat
akan menderita akibat permainan harga.
Selain
itu dengan dikuasainya industri pertanian oleh pengusaha besar, para petani
yang merupakan mayoritas dari rakyat Indonesia akan semakin tersingkir dan
termiskinkan.
Keempat,
lakukan efisiensi di bidang pertanian. Perlu dikaji apakah pertanian kita
efisien atau tidak. Jika pestisida kimia mahal dan berbahaya bagi kesehatan,
pertimbangkan predator alami seperti burung hantu untuk memakan tikus, dsb.
Begitu pula jika pupuk kimia mahal dan berbahaya, coba pupuk organik seperti
pupuk hijau/kompos. Semakin murah biaya pestisida dan pupuk, para petani akan
semakin terbantu karena ongkos tani semakin rendah.
Jika
membajak sawah bisa dilakukan dengan sapi/kerbau, kenapa harus memakai traktor?
Dengan sapi/kerbau para petani bisa menternaknya sehingga jadi banyak untuk
kemudian dijual. Daging dan susunya juga bisa dimakan. Sementara traktor bisa
rusak dan butuh bensin/solar yang selain mahal juga mencemari lingkungan.
Kelima,
data produk-produk yang masih kita impor. Kemudian teliti produk mana yang bisa
dikembangkan di dalam negeri sehingga kita tidak tergantung dengan impor
sekaligus membuka lapangan kerja. Sebagai contoh jika mobil bisa
kita produksi sendiri, maka itu akan sangat menghemat devisa dan
membuka lapangan kerja. Ada 1 juta mobil dan 6,2 juta sepeda motor terjual di
Indonesia dengan nilai lebih dari Rp 200 trilyun/tahun. Jika pemerintah
menyisihkan 1% saja dari APBN yang Rp 1.000 trilyun/tahun untuk
membuat/mendukung BUMN yang menciptakan kendaraan nasional, maka akan terbuka
lapangan kerja dan penghematan devisa milyaran dollar setiap tahunnya.
Keenam,
stop eksploitasi/pengurasan kekayaan alam oleh perusahaan asing. Kelola
sendiri. Banyak kekayaan alam kita yang dikelola oleh asing dengan alasan kita
tidak mampu dan sedang transfer teknologi. Kenyataannya dari tahun 1900 hingga
saat ini ketika minyak hampir habis kita masih ”transfer teknologi”.
Padahal 95%
pekerja dan insinyur di perusahaan-perusahaan asing adalah orang Indonesia.
Expat paling hanya untuk level managerial. Bahkan perusahaan migas Qatar pun di
Kompas sering pasang lowongan untuk merekrut ahli migas kita. Saat ini
1.500 ahli perminyakan Indonesia bekerja di Timur Tengah seperti Arab Saudi,
Kuwait, dan Qatar. Bahkan ada Doktor Perminyakan yang bekerja di negara Eropa
seperti Noewegia!
Sekilas
kita untung dengan pembagian 85% sedang kontraktor asing hanya 15%. Padahal
kontraktor asing tersebut memotong terlebih dulu pendapatan yang ada dengan
cost recovery yang besarnya mereka tentukan sendiri. Bahkan ongkos bermain golf
dan biaya rumah sakit di luar negeri ex-patriat dimasukkan ke dalam cost
recovery, begitu satu media memberitakan. Akibatnya di Natuna sebagai contoh,
Indonesia tidak dapat apa-apa. Kontraktor asing sendiri, seperti Exxon sendiri
mengantongi keuntungan hingga Rp 360 trilyun setiap tahun dari pengelolaan
minyak dan gas di berbagai negara termasuk Indonesia. Menurut PENA, pada tahun
2008 saja sekitar Rp 2.000 trilyun/tahun dari hasil kekayaan alam Indonesia
justru masuk ke kantong asing. Padahal jitu bisa dipakai untuk melunasi hutang
luar negeri dan mensejahterakan rakyat Indonesia.
Bahkan
untuk royalti emas dan perak di Papua, Freeport yang
cuma “tukang cangkul” dapat 99% sementara bangsa Indonesia sebagai pemilik emas
cuma dibagi 1%! Bagaimana bisa kaya? Jadi kalau didapat emas dan
perak sebesar Rp 100 trilyun, Indonesia cuma dapat Rp 1 trilyun saja!
Banyak
perusahaan asing beroperasi menguras kekayaan alam Indonesia. Tetangga saya
yang menambang emas bekerjasama dengan penduduk lokal dengan memakai alat pahat
dan martil saja bisa mendapat Rp 240 juta per bulan, bagaimana dengan Freeport
yang memakai banyak excavator dan truk-truk raksasa yang meratakan
gunung-gunung di Papua?
Agar
Indonesia bisa makmur, maka Indonesia harus mengelola sendiri kekayaan alamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar