Sabtu, 03 Desember 2011

Kebudayaan Ngaben di Bali


Ngaben adalah upacara pembakaran mayat yang dilakukan di Bali, khususnya oleh yang beragama Hindu, dimana Hindu adalah agama mayoritas di Pulau Seribu Pura ini. Di dalam Panca Yadnya, upacara ini termasuk dalam Pitra Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan untuk roh lelulur. Makna upacara Ngaben pada intinya adalah untuk mengembalikan roh leluhur (orang yang sudah meninggal) ke tempat asalnya. Seorang Pedanda mengatakan manusia memiliki Bayu, Sabda, Idep, dan setelah meninggal Bayu, Sabda, Idep itu dikembalikan ke Brahma, Wisnu, Siwa.
Upacara Ngaben biasanya dilaksanakan oleh keluarga sanak saudara dari orang yang meninggal, sebagai wujud rasa hormat seorang anak terhadap orang tuanya. Dalam sekali upacara ini biasanya menghabiskan dana 15 juta s/d 20 juta rupiah. Upacara ini biasanya dilakukan dengan semarak, tidak ada isak tangis, karena di Bali ada suatu keyakinan bahwa kita tidak boleh menangisi orang yang telah meninggal karena itu dapat menghambat perjalanan sang arwah menuju tempatnya.
Hari pelaksanaan Ngaben ditentukan dengan mencari hari baik yang biasanya ditentukan oleh Pedanda. Beberapa hari sebelum upacara Ngaben dilaksanakan keluarga dibantu oleh masyarakat akan membuat “Bade dan Lembu” yang sangat megah terbuat dari kayu, kertas warna-warni dan bahan lainnya. “Bade dan Lembu” ini merupakan tempat mayat yang akan dilaksanakan Ngaben.
Pagi hari ketika upacara ini dilaksanakan, keluarga dan sanak saudara serta masyarakat akan berkumpul mempersiapkan upacara. Mayat akan dibersihkan atau yang biasa disebut “Nyiramin” oleh masyarakat dan keluarga, “Nyiramin” ini dipimpin oleh orang yang dianggap paling tua didalam masyarakat. Setelah itu mayat akan dipakaikan pakaian adat Bali seperti layaknya orang yang masih hidup. Sebelum acara puncak dilaksanakan, seluruh keluarga akan memberikan penghormatan terakhir dan memberikan doa semoga arwah yang diupacarai memperoleh tempat yang baik. Setelah semuanya siap, maka mayat akan ditempatkan di “Bade” untuk diusung beramai-ramai ke kuburan tempat upacara Ngaben, diiringi dengan “gamelan”, “kidung suci”, dan diikuti seluruh keluarga dan masyarakat, di depan “Bade” terdapat kain putih yang panjang yang bermakna sebagai pembuka jalan sang arwah menuju tempat asalnya. Di setiap pertigaan atau perempatan maka “Bade” akan diputar sebanyak 3 kali. Sesampainya di kuburan, upacara Ngaben dilaksanakan dengan meletakkan mayat di “Lembu” yang telah disiapkan diawali dengan upacara-upacara lainnya dan doa mantra dari Ida Pedanda, kemudian “Lembu” dibakar sampai menjadi Abu. Abu ini kemudian dibuang ke Laut atau sungai yang dianggap suci.
Setelah upacara ini, keluarga dapat tenang mendoakan leluhur dari tempat suci dan pura masing-masing. Inilah yang menyebabkan ikatan keluarga di Bali sangat kuat, karena mereka selalu ingat dan menghormati lelulur dan juga orang tuanya. Terdapat kepercayaan bahwa roh leluhur yang mengalami reinkarnasi akan kembali dalam lingkaran keluarga lagi, jadi biasanya seorang cucu merupakan reinkarnasi dari orang tuanya.

SEJARAH NGABEN :
Dalam kepercayaan Hindu, jasad manusia terdiri dari badan kasar (fisik) dan badan alus (roh atau atma). Badan kasar tersebut dibentuk oleh 5 unsur yg disebut Panca Maha Bhuta, yang terdiri dari pertiwi (tanah), apah (air), teja> (api), bayu (angin), serta akasa> (ruang hampa). Kelima unsur ini menyatu membentuk fisik manusia yang kemudian digerakkan oleh roh. Ketika seseorang meninggal, yang mati sebetulnya hanyalah jasad kasarnya saja, sementara rohnya tidak. Oleh sebab itu, untuk menyucikan roh tersebut diperlukan Upacara Ngaben untuk memisahkan antara jasad kasar dan roh tersebut.
Tentang asal kata Ngaben sendiri ada tiga pendapat. Ada yang mengatakan berasal dari kata beya yang artinya bekal, ada yang merunutnya dari kata ngabu atau menjadi abu, dan ada juga yang mengaitkannya dengan kata ngapen yaitu penyucian dengan menggunakan api. Dalam agama Hindu, dewa pencipta atau Dewa Brahma juga dikenal sebagai dewa api. Oleh sebab itu, Upacara Ngaben juga dapat dilihat sebagai upaya membakar kotoran berupa jasad kasar yang melekat pada roh (disebut pralina atau meleburkan jasad), serta mengembalikan roh kepada Sang Penciptanya.
Bagi masyarakat Bali, Upacara Ngaben merupakan momen bahagia. Sebab dengan melaksanakan Ngaben, anak-anak atau orang tua telah melaksanakan kewajibannya sebagai anggota keluarga. Bagi anak-anak yang telah dewasa, Upacara Ngaben dianggap sebagai salah satu bentuk terima kasih kepada orang tuanya yang meninggal. Oleh sebab itu, bagi sanak keluarga yang ditinggalkan, Upacara Ngaben disambut dengan suka cita, jauh dari isak tangis. Sebab mereka percaya, isak tangis hanya akan menghambat perjalanan roh menuju nirwana.
Namun, tidak semua orang yang meninggal dapat langsung di-aben. Ada juga yang dikubur terlebih dahulu karena alasan belum memiliki cukup biaya. Upacara ini memang membutuhkan biaya yang cukup besar (mulai dari puluhan hingga ratusan juta rupiah) karena pelaksanaannya memerlukan berbagai perangkat upacara (upakara). Oleh sebab itu, Upacara Ngaben boleh dilaksanakan beberapa tahun setelah seorang sanak keluarga meninggal. Bahkan untuk menghemat biaya, Ngaben juga bisa dilaksanakan secara missal.
Upacara Ngaben biasanya dilaksanakan untuk orang yang meninggal dan ada jenazahnya. Untuk orang yang jasadnya tidak ditemukan atau susah dikenali, misalnya karena kecelakaan pesawat, terseret arus laut, tertimpa musibah kebakaran, atau menjadi korban pemboman (seperti kasus Bom Bali I dan II), pihak keluarga tetap dapat melaksanakan Ngaben dengan cara mengambil tanah lokasi meninggalnya untuk dibakar. Sementara untuk bayi di bawah usia 42 hari atau bayi yang belum tanggal giginya jenazahnya harus dikubur. Apabila tetap ingin di-aben, maka dapat dilakukan dengan mengikuti Upacara Ngaben salah seorang anggota keluarga yang juga meninggal. Selain di Pulau Bali, Upacara Ngaben juga dilaksanakan oleh para penganut Hindu di beberapa tempat, seperti di Banyuwangi, Lombok, Jakarta, bahkan oleh para transmigran dari Bali di Lampung.
Ritual Ngaben biasanya diselenggarakan secara meriah dan mengikutsertakan ratusan hingga ribuan orang yang terdiri dari sanak saudara maupun penduduk banjar setempat (organisasi sosial khas masyarakat Bali setingkat dengan Rukun Warga). Dalam perkembangannya, upacara unik ini juga menjadi salah satu agenda pariwisata, di mana wisatawan domestik dan mancanegara dapat turut serta menonton ritual ini, terutama pada tahapan upacara utama, yaitu kremasi jenazah.
Salah satu Upacara Ngaben terbesar yang dihadiri oleh sanak keluarga, kerabat, dan wisatawan adalah Upacara Ngaben keluarga Puri Ubud pada 5 Juli 2008 silam. Sekitar 300.000 orang berkumpul di ruas Jalan Raya Ubud untuk meramaikan upacara kremasi massal yang mengikutsertakan 3 sawa (roh yang telah meninggal) dari keluarga puri dan puluhan sawa lainnya dari beberapa banjar di sekitar Puri Ubud.
Sebelum kremasi jenazah dilakukan, terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan oleh pihak keluarga, seperti memandikan jenazah, Ngajum, pembakaran atau Ngaben, serta Nyekah. Sebelum tahapan pertama penyucian jenazah dilakukan, pihak keluarga akan menghadap pedanda (pendeta Hindu Bali) untuk menanyakan hari yang baik guna melakukan Upacara Ngaben. Apabila Ngaben dilaksanakan segera setelah seorang anggota keluarga meninggal, maka biasanya pedanda akan memilih hari yang tidak lebih dari 7 hari sejak hari kematiannya.
Setelah didapat waktu yang tepat, maka keluarga segera melakukan ritual pertama, yaitu nyiramin layon atau memandikan jenazah. Prosesi memandikan jenazah ini dilakukan oleh pedanda yang mewakili kaum Brahmana. Usai dimandikan, jenazah kemudian diberi pakaian adat Bali lengkap. Ritual selanjutnya adalah Ngajum, yaitu ritual melepaskan roh dengan cara membuat simbol-simbol yang menggambarkan proses dan unsur-unsur penyucian roh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar