Peristiwa Sampit ini menjadi sebuah kota yang digambarkan begitu
menakutkan karena pertikaian etnis (ane katakan di sini "pertikaian
etnis" murni...tidak ada faktor SARA lainnya).
Masyarakat Dayak adalah masyarakat tradisional yang memegang teguh harkat dan harga diri.
Sejak "peradaban" masuk ke dalam kehidupan mereka, budaya "kekerasan" yang dahulu secara turun-temurun mulai ditinggalkan.
Gambaran kasar tentang orang dayak secara umum, Orang Dayak adalah masyarakat tradisional dan mempunyai sifat pemalu terhadap
pendatang. Tidak jarang ane jumpai masyarakat Dayak yang lari
bersembunyi dan hanya berani mengintip dari balik papan dinding
rumahnya bila melihat orang asing datang mendekat.
Namun, masyarakat Dayak mempunyai sistem kekerabatan dan persatuan yang
kuat antar masyarakat Dayak di seluruh pulau Kalimantan (termasuk Dayak
di wilayah Malaysia).
Kenapa orang Dayak jadi beringas terhadap etnis Madura..?????
Banyak sebab yang membuat mereka seakan melupakan asazi manusia, baik sebab langsung maupun tidak langsung.
Masyarakat Dayak di Sampit seperti selalu "terdesak" dan selalu mengalah dan memang mereka lebih suka memilih mengalah.
Dari kasus pelarangan menambang intan di atas "tanah adat" mereka
sendiri karena dituduh tidak memiliki izin penambangan, sampai kampung
mereka harus berkali-kali berpindah karena harus mengalah dari para
penebang kayu yang terus mendesak mereka makin ke dalam hutan.
Sayangnya, kondisi ini diperburuk lagi oleh ketidakadilan hukum yang
seakan tidak mampu menjerat pelanggar hukum yang menempatkan masyarakat
Dayak menjadi korban kasus tersebut. Tidak sedikit kasus pembunuhan
orang dayak (sebagian besar
disebabkan oleh aksi premanisme Dayak-Madura) yang merugikan masyarakat
Dayak karena tersangka (kebetulan orang Madura) tidak bisa ditangkap
oleh aparat yang "katanya" penegak hukum.
Dalam keseharian Masyarakat Dayak, kehidupan mereka ternyata jauh dari
anggapan kita yang mengira bahwa mereka itu beringas. Mereka ternyata
sangat pemalu, menerima para pendatang, dan tetap menjaga keutuhan
masyarakatnya baik religi dan ritual mereka. Mereka tidak pernah
mengganggu para penebang kayu yang mendesak mereka untuk terus
mengalah. Mereka tidak pernah
menentang anggota masyarakatnya yang ingin masuk agama yang dibawa oleh
orang-orang pendatang. Mereka dengan ringan-tangan membantu masyarakat
sekitarnya. Mereka tidak pernah membawa mandau, sumpit, ataupun panah
ke dalam kota Sampit untuk "petantang-petenteng".
Etnis madura yang juga punya latar belakang budaya "kekerasan" ternyata
menurut masyarakat Dayak dianggap tidak mampu untuk beradaptasi
(mengingat mereka sebagai "pendatang"). Sering terjadi kasus
pelanggaran "tanah larangan" orang Dayak oleh penebang kayu yang
kebetulan didominasi oleh orang Madura. Hal inilah yang menjadi salah
satu pemicu "perang antar etnis Dayak-Madura".
Dayak dikenal berilmu tinggi hingga bisa membedakan suku Madura dengan
suku-suku lainnya, yang jelas suku-suku lainnya luput dari "serangan
beringas" orang Dayak.
Banyak yang mengaitkan peristiwa-peristiwa aneh selama "perang" tersebut dengan kepercayaan animisme Dayak (Kaharingan). Banyak
bukan saja masyarakat dayak Sampit yang berada di sana, tetapi juga ada
5 suku besar Dayak lainnya dari beberapa propinsi di pulau Kalimantan .
Bayangkan, masyarakat Dayak yang sebelumnya bukan masyarakat mayoritas
di sana, saat terjadi "perang" jumlah mereka berlipat ganda.
Dari riwayat budaya Dayak, kalau 6 suku tersebut sudah berkumpul, berarti
PERANG BESAR...!!
Pengungsian besar-besaran masyarakat suku lain (selain Dayak dan
Madura) hanya dikarenakan rasa ngeri melihat "perang" dan lumpuhnya
perekonomian
Sampit.
(Dayak) tidak menyerang orang (madura) yang sempat bersembunyi di dalam Masjid atau Gereja.
meski pada intinya suku Madura seperti sangat merasa berkuasa di
sana..dan sempat ingin mengganti nama menjadi Sampang 2 (salah satu
kota besar di Madura)
Seorang pemuda bersenjata mandau duduk tepekur di trotoar jalan, di
Depan Hotel Putra Sampit, Kotawaringain Timur, Kalimantan Tengah
(Kalteng). Mandau di tangannya masih meneteskan darah. Matanya tampak
berkaca-kaca, dan sesekali ia sesenggukan. Ahmad, pemuda beretnis
Banjar yang kebetulan rumahnya dekat dengan trotoar jalan itu,
memberanikan diri menghampiri.
Ahmad bertanya dalam bahasa Melayu, ternyata pemuda yang sedang
menangis itu tidak mengerti. Ia tak lain adalah warga Dayak pedalaman.
Lalu, terjadilah dialog dalam bahasa daerah. "Kenapa Anda menangis,"
tanya Ahmad. "Bagaimana tidak, saya telah melakukan pembunuhan," jawab
pemuda Dayak itu. Pemuda Dayak itu lantas nyerocos, kalau mengingat
pembunuhan yang dilakukannya, ia merasa kasihan pada warga Madura.
Tapi jika mengingat kelakuan etnis asal pulau garam itu, akunya, rasa
kasihannya menjadi hilang.
Pemuda itu hanyalah salah satu dari ratusan pemuda Dayak yangmelakukan
penyerangan ke Sampit. Menurut budayawan Dayak Kalteng,Gimong Awan,
memang banyak di antara warga Dayak yang mengikuti'peperangan' itu
adalah pemuda berusia di bawah 30 tahun. Penyesalan setelah membunuh
itu muncul, duga Gimong, karena telah habisnya
pengaruh 'isian' yang dilakukan oleh orang sakti Suku Dayak. Para
pemuda itu, sambungnya, kebanyakan adalah pemuda lugu yang tidak
jarang juga pengangguran.
Seperti disaksikan oleh banyak warga Sampit, sebelum
melakukanpenyerangan, beberapa subsuku Dayak memang malakukan ritual.
WargaDayak yang ikut ritual itu setelah diisi, kulitnya dicoba disayat
satu per satu. Apabila ada yang luka, berarti ia tidak berbakat untuk
mendapatkan 'kekebalan'. Bagi yang digores tidak berdarah, maka ia
lulus sebagai inti dari pasukan perang Dayak."Isian itu dilakukan
seperti di Pencak Silat semacam Satria Nusantara," ujarnya. Selepas
'isian' habis, tambahnya, mungkin mereka baru menyadari bahwa
pembunuhan yang dilakukannya itu dilarang oleh agama yang mereka
anut.Tapi, apa yang membuat suku Dayak di Kalteng begitu kalap dalam
menghadapi warga Madura? Hampir semua warga dan tokoh Dayak yang
ditemui Republika menunjuk perilaku kebanyakan etnis Madura sebagai
penyebabnya. H Charles Badarudin, seorang tokoh Dayak di Palangkaraya
menceritakan kelakuan warga Madura banyak yang tidak mencerminkan
peribahasa "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung". Ia
mencontohkan salah satunya dalam soal tanah.Banyak warga Madura yang
baru datang ke Kalteng meminjam tanah kepada warga Dayak. Di atas tanah
itu kemudian dibangun rumah, atau kadang ditanami sayur mayur. Status
tanah itu sebenarnya tetap pinjaman,warga Dayak tak menarik sewa.
Setelah beberapa tahun, tanah itu pun diminta karena suatu keperluan.
Tapi, bukan tanah yang dikembalikan,namun celurit yang justru
dikeluarkan. "Ketika ditunjukkan surat kepemilikan tanah, orang Madura
bilang, kamu punya suratnya, saya punya tanahnya," ujar Charles, yang
mengaku kemenakan pahlawan Kalteng, Tjilik Riwut.Kasus seperti itu
dinilai warga Dayak terlalu sering terjadi. Bukan hanya itu, tak jarang
terjadi pembunuhan yang dilakukan warga Madura,namun aparat hanya
menangkap sebentar kemudian melepasnya. 'Kenakalan'semacam itu tidak
hanya terjadi di perkotaan. Sebagai pendatang, warga Madura juga berani
masuk ke daerah pedalaman, seperti wilayah pertambangan. "Ada untungnya
orang Madura mengungsi. Saya jadi aman dari perampokan," tutur Surti,
pendatang dari Jawa yang tinggal didaerah pertambangan bersama
suaminya.Di bidang ekonomi, warga Madura pun menguasai hampir semua
sektor.Warga lokal hampir selalu kalah bersaing dalam memperebutkan
lahan usaha. Di pelabuhan misalnya, sulit bagi etnis lain untuk menjadi
buruh kasar sekalipun, tanpa restu oreng Madura. Konon, yang masuk
kelahan mereka tanpa restu, bisa dibunuh.Dominasi di bidang ekonomi itu
tampak jelas, karena setelah orang Madura dipaksa mengungsi, warga
Sampit dan Palangkaraya kesulitan mencari sembilan kebutuhan pokok
(sembako). Pasalnya, tak ada lagi pedagang eceran, karena semuanya
mengungsi.Akumulasi permasalahan itu menjadikan warga Dayak sakit
hati.Kejadian, 18 Februari 2001 hanyalah pemicu terjadinya perang
besar-besaran. Pada hari itu terjadi pembunuhan terhadap empat orang
keluarga Matayo di Sampit. Itu membuat marah warga Madura. Mereka
mencari pembunuhnya yang diduga bersembunyi di rumah Timil, seorang
warga Dayak. Mereka mengepung rumah keluarga Timil itu. Dalam situasi
panas itu, apalagi warga Dayak dari rumah Timil keluar juga memegang
mandau, aparat kepolisian datang. Mereka kemudian menangkap 38
tersangka dari suku Dayak yang diduga melakukan pembunuhan terhadap
keluarga Matayo.Puas? Ternyata belum. Warga Madura tetap melampiaskan
kemarahannya.Mereka mendatangi rumah Sengan, warga Dayak yang masih ada
hubungan darah dengan Timil. Mereka bahkan membakar rumah itu. Naas
bagi Timil.Dia bersama anak dan cucunya tewas terpanggang. Kemarahan
warga Madura belum berhenti. Hari itu, mereka setidaknya melakukan
pembakaran terhadap 14 rumah dan 10 kendaraan bermotor. Sampai esok
harinya>(19/02), warga Madura menguasai kota Sampit. Mereka memburu
warga Dayak. Mereka keliling kota dengan membawa clurit, baik dengan
jalan kaki maupun memakai kendaraan bermotor. Ada beberapa spanduk yang
dipasang, di antaranya "Sampit, kota Sampang II".Tiga orang Dayak tewas
dalam insiden ini. Pengungsian warga Dayak,Jawa, Banjar, dan Tionghoa
mulai terjadi. Rumah jabatan bupati Kotawaringin Timur mulai dipadati
pengungsi. Ribuan orang mengungsi ke Jawa dengan KM Binaiya. Entah
siapa yang mengontak, mulai 20 Februari 2001, warga Dayak dari luar
kota Sampit, termasuk dari pedalaman,menyerbu Sampit. Pertempuran
sengit pun terjadi. Warga Madura keteter.Warga Dayak membakar dan
merusak rumah warga Madura. Penghuninya pun diburu. Pemenggalan kepala
mulai banyak terjadi. Warga Dayak ganti menguasai kota.Esoknya (21/2),
perburuan Dayak masih terjadi. Malah wilayah pencarian kian meluas,
keluar dari kota Sampit. Sementara perlawanan warga keturunan Madura
kian melemah. Mereka lebih memilih mengungsi, atau lari ke hutan.
Kantor Pemda setempat menjadi pilihan pengungsian yang dipandang paling
aman. Hari-hari berikutnya, langkah 'pembersihan'masih terjadi. Baru
pada Rabu (28/2) situasi berangsur tenang, meski tetap saja ada aksi
pembakaran di sana sini. Pun, jejak kerusuhan berupa mayat --sebagian
besar tanpa kepala-- masih berserakan disungai-sungai. Bau anyir mayat
menyengat hidung.Warga Sampit meyakini korban tewas tanpa kepala
mencapai lebih dari 1.000 orang. Dalam budaya Dayak memang dikenal
istilah ngayau,eksekusi dengan memenggal kepala lawan. "Budaya itu
sebenarnya telah dihentikan dengan adanya perjanjian Tumbang Anoy
(letaknya kira-kira 300 KM timur Palangkaraya) pada 1884," ungkap
Gimong.Dalam sejarah Dayak pun, kata dia, jarang sekali ada ngayau yang
mencapai angka ratusan atau bahkan ribuan. Tapi, ujar Gimong, pernah
ada satu ngayau besar-besaran sebelum peradaban Islam menyentuh
Kalimantan. "Kejadian itu disebut Asang Paking Pakang," tuturnya.Dalam
kejadian itu, warga Dayak di hulu sungai-sungai besar menyerang secara
besar-besaran warga Dayak di hilir sungai. "Beribu-ribu pasukan Dayak
hulu, seperti tikus, melakukan penyerangan," kisah Gimong."Dayak hulu
merasa kelakuan Dayak hilir sudah keterlaluan. Mereka sakit hati karena
banyak anggota kelompok mereka yang dikayau."Dalam penyerangan itu, tak
peduli anak-anak atau perempuan, di- kayau.Asang memang berarti
pembunuhan berskala besar. Ketemu perahu,dihancurkan. Dapat ternak juga
di sikat. Bahkan, dapat kuburan pun mereka bongkar dan hancurkan.
Melihat pola dan jumlah korban dalam tragedi terakhir di Sampit, Gimong
menilai mirip dengan Asang Paking Pakang. "Tragedi Sampit adalah Asang
Paking Pakang jilid dua,"katanya. Tapi, dalam pandangannya, kejadian
itu adalah kemunduran 100 tahun bagi suku Dayak. thonthowi djauhari
Ijin copas kak :D
BalasHapus