Jumat, 30 Desember 2011

Diskriminatif Hukum Berdasarkan Status Ekonomi


CERITA KORUPTOR :
Bekas Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara Eddie Widiono mengajukan banding atas vonis lima tahun penjara yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi DKI, pekan lalu. Banding diajukan Eddie pada Rabu, 28 Desember 2011, ke Pengadilan Tinggi DKI.

"Kami banding karena keputusan hakim menilai kebijakan melakukan pekerjaan roll-out CIS RISI menurut kami tidak bisa diadili, kecuali kebijakan itu secara sengaja dibuat untuk menguntungkan diri sendiri," kata penasihat hukum Eddie, Maqdir Ismail, di Jakarta.

Menurut Ketua Majelis Hakim Tjokorda Rae Suamba, Eddie dinilai bersalah karena menunjuk langsung PT Netway Utama sebagai kontraktor. Namun hakim menyatakan Eddie tidak terbukti mengambil keuntungan dari proyek yang berlangsung di Jakarta dan Tangerang. Meski menyebut Eddie tak menikmati uang korupsi, hakim tetap menilai Eddie bersalah karena merugikan negara Rp 46 miliar dan memperkaya orang lain.

Maqdir mengklaim kebijakan Eddie dalam proyek roll-out CIS RISI justru menguntungkan masyarakat, PLN, dan pemegang saham. Sebab proyek tersebut menguntungkan PLN dengan nilai manfaat Rp 800 miliar per tahun. Ia pun menuding hakim membuat putusan yang salah. "Kesalahan pokok pada putusan pengadilan karena mereka meyakini ada kerugian negara sebesar Rp 46 miliar yang berasal dari penghitungan yang dilakukan secara ceroboh dan tidak benar secara akademis ataupun praktis," ujarnya.

Hakim juga dinilai Maqdir mengabaikan banyak fakta persidangan. Seperti fakta pekerjaan roll-out CIS RISI PLN Disjaya dan Tangerang telah mendapat persetujuan Dewan Komisaris, dan ihwal penunjukan langsung PT Netway yang diklaim telah dilakukan sesuai dengan ketentuan perusahaan.

Dalam sidang pekan lalu, Eddie Widiono dijatuhi hukuman lima tahun penjara. Ia juga didenda sebesar Rp 500 juta subsider hukuman penjara enam bulan karena bersalah dalam proyek outsourcing CIS-RISI di PLN Disjaya Tangerang tahun 2004-2007. Kasus ini terjadi saat Eddie menjabat Direktur Utama PLN periode 2001-2008.

Perbuatan korupsi dilakukan Eddie secara sendiri ataupun bersama-sama dengan eks General Manager PLN Disjaya Tangerang Margo Santoso, Fahmi Mochtar, serta Direktur Utama PT Netway Utama Gani Abdul Gani. Eddie disebut jaksa memperkaya Margo Rp 1 miliar, Fahmi Rp 1 miliar, dan Gani Rp 42,1 miliar. Dalam perkara ini jaksa sebelumnya menuntut Eddie hukuman pidana tujuh tahun penjara.
                                                                                        
CERITA RAKYAT KECIL :
Entah apa yang ada di benak AAL, pelajar sebuah sekolah menengah kejuruan negeri di Palu, Sulawesi Tengah, ketika mengetahui kenakalan ‘kecilnya’ berbuntut panjang dan berbuah pahit sampai lebih dari setahun kemudian.

Suatu hari di bulan November 2010, AAL bersama kawannya melintas di depan kos seorang anggota Brimob Polda Sulawesi Tengah berpangkat Briptu. Di depan kos sang Briptu berinisial AR, AAL melihat sandal jepit tergeletak. Tanpa berpikir panjang, ia kemudian mengambil sandal jepit tersebut.

Menurut Briptu AR, selain dirinya, kawan-kawan sekosnya pun kehilangan sandal. Ia pun mempersoalkan pencurian sandal jepit itu ke pihak kepolisian tempatnya mengabdi. Enam bulan setelah peristiwa pencurian itu, polisi memanggil AAL dan kawannya. Mereka diinterogasi, bahkan dipukuli dengan tangan dan benda tumpul.

AAL menderita lebam di punggung, kaki, dan tangan, akibat kekerasan yang ia terima saat interogasi itu. Ia pun mengaku mencuri sandal. Kasus terus bergulir. Pengaduan Briptu AR soal sandalnya yang dicuri AAL diproses terus secara hukum dan akhirnya masuk ke Kejaksaan Negeri Palu.

Kasus pencurian sandal jepit ini pun sampai juga ke pengadilan, dan AAL resmi menjadi terdakwa. Jaksa menyatakan, AAL melakukan tindak pidana sebagaimana Pasal 326 KUHP tentang Pencurian. AAL pun diancam 5 tahun penjara.
Masyarakat terkejut. Betapa bocah pencuri sandal jepit bisa terancam hukuman layaknya koruptor. Nasib mirip dengan AAL pernah dialami oleh seorang nenek bernama Mina tahun lalu. Bedanya ia tidak mencuri sandal. Ia dan dua orang anaknya dituduh mencuri 2 kilogram buah randu seharga Rp12.000.

Efendi, pemilik pohon randu di lahan PT. Segayung di Desa Sembojo, Kecamatan Kulit, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, melaporkan Nenek Mina dan kedua anaknya ke Polres Batang. Nenek Mina dan anak-anaknya yang masih di bawah umur itu pun ditahan dan diancam 7 tahun penjara.

KESIMPULAN :
Penegakan hukum di negara Indonesia sangat kontras dan tidak masuk diakal sehat, terutama atas tindakan aparat hukum dalam memberantas tindak korupsi.
Para koruptor yang telah merugikan keuangan negara hingga puluhan miliar hanya dituntut beberapa tahun saja. Lihatlah mantan Direktur Utama PT PLN, Eddie Widiono yang hanya dituntut 7 tahun penjara dan dijatuhi hukuman 5 tahun penjara.
Padahal tuntutan jaksa, Eddi dinilai telah merugikan keuangan negara sebesar Rp46 miliar. Lainnya, anggota DPR Bulyan Royan hanya dijatuhi hukuman enam tahun penjara karena menerima suap US$60 ribu dan 10 ribu euro dan jaksa menuntut delapan tahun penjara.
Berbanding terbalik, bila pelaku adalah rakyat kecil, seperti kasus seorang pelajar SMKN 3 Palu, Palu Selatan, Sulawesi Tengah, AAL (15), yang terancam 5 tahun penjara. Polisi dan jaksa menuduhnya mencuri sendal seharga Rp 30 ribu milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap.
Daftar penegakkan hukum yang lebay menambah daftar panjang tebang pilih aparat dalam menegakkan hukum. Ada lagi, kasus, pencurian 3 buah kakao oleh nenek Minah di Banyumas, Jawa Tengah, yang dijatuhi hukuman selama 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan pada 19 Nopember 2009.
Jika pencuri sendal seharga Rp 30 ribu saja terancam lima tahun penjara, lalu berapa lama ancaman penjara yang pantas bagi koruptor yang telah merampok uang rakyat puluhan miliar rupiah?
Untuk membersihkan para penegak hukum, khususnya hakim yang memberi keputusan vonis maka Lembaga Mahkamah Agung sebaiknya melakukan penyelidikan terlebih dahulu terhadap para hakim Pengadilan Tipikor daerah untuk mengetahui, apakah benar para hakim Pengadilan Tipikor terlibat kasus suap dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi di daerah.
Mahkamah Agung (MA) harus bertanggung jawab atas perilaku hakim pengadilan tipikor di daerah yang telah memvonis bebas dan ringan terhadap koruptor. Kontroversi vonis bebas dan ringan di pengadilan tipikor daerah bermula dari mekanisme rekrutmen hakim-hakim yang tidak kredibel dan mekanismenya yang tidak akuntabel.
Inikah yang disebut KEADILAN???

Tidak ada komentar:

Posting Komentar