Hari-hari
terakhir ini, kita hampir tidak dapat dilepaskan dari hingar bingar berita
skandal video porno mirip artis yang sudah tersebar bebas di internet. Lepas
dari segala kecaman maupun berita yang disorotkan ke artis yang terlibat, kita
memang perlu prihatin bahwa tersebarnya rekaman tersebut, sudah terjangkau
hingga ke berbagai kalangan, termasuk anak-anak. Bahkan jauh sebelum kehebohan
video ini muncul, kita tentu masih ingat tersebarnya pula rekaman video seks
mantan pejabat, mahasiswa, ganti baju artis, dan masih banyak lagi.
Semuanya
merupakan aktivitas yang cenderung ditabukan dalam kultur masyarakat kita,
terutama bagi anak-anak. Dan tidak dapat dipungkiri, kasus yang melibatkan
artis-artis terkenal ini menjadi perhatian public maupun pemerintah yang cukup
besar karena mereka adalah figur public, sehingga membuat lebih banyak kalangan
yang cenderung ingin tahu, apa yang sedang diberitakan media massa.
Harus
kita akui, di jaman yang serba modern ini, penyebaran informasi apapun, baik
yang positif maupun negative, relative sulit dihindari, termasuk juga
informasi-informasi yang seharusnya diperuntukkan untuk orang dewasa yang sudah
siap lahir dan batin menerima informasi tersebut. Apalagi, perkembangan
internet dan perangkatnya yang semakin murah dan semakin kita butuhkan untuk
aktivitas sehari-hari sehingga memungkinkan akses yang semakin mudah.
Tentu
tidak akan efektif bila kita sebagai orang tua, hanya sekedar melarang anak
kita dan memarahinya bila kita mendapatinya sedang mengkonsumsi informasi yang
tergolong dewasa, baik melalui internet, handphone, televisi ataupun alat
teknologi lain, karena hal itu akan memunculkan rasa penasaran yang besar pada
anak, dan ujung-ujungnya, akan mudah tergoda untuk mencari tahu dalam bentuk praktek
nyata, seperti yang kebanyakan diberitakan selama ini di berbagai media massa.
Oleh
sebab itu, kunci utama untuk melindungi buah hati kita dari dampak negative
kemajuan teknologi, dengan tetap kita mampu memaksimalkan segi positif dari
teknologi tersebut, adalah KOMUNIKASI. Seperti layaknya setiap hubungan
apapun itu, termasuk hubungan antar suami-istri, KOMUNIKASI merupakan sarana
yang paling efektif untuk saling memberikan masukan, saling memahami, saling
memberikan pengertian, dan saling belajar satu sama lain dalam mencapai win-win
solution di setiap masalah apapun.
Marah,
memaksa, melarang, menghukum, maupun tindakan emosional lainnya, cenderung
meningkatkan perasaan tertekan dan keinginan memberontak pada anak, yang
ujung-ujungnya, akan menyulitkan orang tua dalam penanaman nilai secara tepat.
Komunikasi
antar orang tua-anak yang terjalin dengan baik (artinya, anak merasa nyaman
setiap kali berkomunikasi dengan orang tuanya, bukan malah tertekan atau
takut), akan jauh lebih efektif untuk menanamkan nilai-nilai dibandingkan
factor luar. Hanya pada saat anak tidak merasa nyaman ketika ia di rumah,
itulah saatnya factor luar (teman, media massa, dll) memberikan pengaruh yang
signifikan.
Lantas,
bagaimana caranya ber-KOMUNIKASI yang efektif agar anak mudah memahami
pengertian yang dimaksud orang tua?
Di
sini, dibutuhkan KESESUAIAN antara inti informasi yang dikomunikasikan
orang tua dengan perkembangan mental anak, yang umumnya mengikuti perkembangan
usianya.
Tidak
dapat dipungkiri, perkembangan intelektual dapat semakin cepat dan semakin dini
berkat pengaruh gizi, lingkungan, maupun pola asuh. Namun sebaliknya,
perkembangan mental perlu proses sinergi terus menerus antara orang
tua-anak-lingkungan hingga anak mulai mampu mengambil tanggung jawab secara
mandiri di masa dewasa.
Oleh
sebab itu, kami sajikan beberapa tips berikut ini yang dapat dicoba orang tua
dalam menanamkan nilai-nilai normative (khususnya terkait perilaku seks bebas):
1. Memanfaatkan
Perumpamaan/ Metafora CINTA dan RESMI
Hal
ini terutama saat anak berusia di bawah sekurang-kurangnya 7 tahun (sekitar SD
kelas 2), bertanya dari mana ia dilahirkan.
- Lebih baik orang tua
menghindari jawaban yang sulit diterima akal sehat karena kelak di masa
depan, anak akan sulit percaya kepada orang tua bila ternyata kenyataannya
tidak seperti yang disampaikan orang tua.
- Lebih baik orang tua memberikan
jawaban dari Cinta, seperti cerita cinta dongeng Cinderella dan dari Cinta
itulah, anak dilahirkan. Maka, konsep terlahir dari “Cinta”, menjadi norma
yang terekam di informasi anak.
- Di atas usia 7 th – awal masa
akil balik, orang tua bisa menambahkan konsep “Cinta” tersebut dengan
konsep “Resmi”, di mata agama dan hukum, seperti anak yang terlahir dari
Cinta yang telah dipersatukan secara resmi oleh agama dan hukum dalam
bentuk pernikahan yang sah.
- Maka ketika anak sudah memasuki
masa akil balik (remaja ke atas), nilai-nilai “Cinta” dan “Resmi” sudah
terekam di kepribadian anak, sehingga selanjutnya, tugas orang tua
relative lebih ringan dengan membimbing anak untuk beradaptasi dengan
perubahan fungsi organ tubuh yang sudah mulai matang. Baru pada saat
itulah, anak baru dapat belajar mengenai awal mula “Proses Biologis”
terbentuknya kelahiran anak dengan nilai-nilai “Cinta” dan “Resmi” yang
tertanam.
2. Menunjukkan
kebahagiaan yang terpancar dari foto-foto perkawinan orang tua
3. Menunjukkan
kebahagiaan yang terpancar dari dokumen kelahiran anak, hasil dari Cinta kasih
yang diwujudkan dalam bentuk pernikahan Resmi.
4. Menekankankan
dan selalu mengulang kata “Ayah dan Ibu PERCAYA sama Adik (atau nama
panggilan anak), dan bahwa Adik akan selalu menggunakan kepercayaan Ayah dan
Ibu dengan baik”
5. Menjelaskan
bahwa perilaku seks bebas seperti yang ditunjukkan oleh artis maupun orang lain
seperti yang diberitakan di berbagai media massa maupun internet, itu bukanlah
“Cinta” karena tidak dipertanggungjawabkan secara “Resmi” di hadapan agama dan
hukum. Maka dari itu, perilaku semacam itu, tidak akan menghasilkan kebahagiaan
bagi diri sendiri.
- Hal ini-pun berlaku ketika anak
sudah menginjak remaja dan mulai menjalin hubungan pacaran, sehingga
dengan nilai/ kata kunci “Cinta”, “Resmi”, maupun “Orang tua Percaya” yang
telah tertanam dalam prinsip hidup anak, kondisi mental anak akan relative
sudah siap untuk menjaga diri sendiri dari godaan untuk melakukan hubungan
seksual sebelum waktunya, walaupun dengan pacar sendiri.
6. Yang
terakhir dan tak kalah pentingnya, adalah PANUTAN dari orang tua. Tanpa
“PANUTAN” yang sesuai dengan kenyataan yang dilihat anak, maka langkah 1 s/d 5
akan menjadi kurang efektif, atau lebih tepatnya, sia-sia.
Seperti
sebuah pepatah mengatakan, “Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit.”
Demikian juga dengan perkembangan mental pada generasi muda masa datang,
khususnya anak-anak kita.
Kita
tidak dapat memperbaiki masa lalu, kita tidak dapat menutup diri dari
perkembangan jaman, kita juga tidak dapat menghindari kemajuan teknologi yang
sangat cepat, tapi kita dapat belajar dari kesalahan dan memperbaikinya demi
masa depan yang lebih baik. Dan, itu semua tergantung dari diri kita
masing-masing saat ini.
Selamat
menjadi orang tua yang berbahagia! ^_^
Penulis
:
Siti Marini Wulandari, M.Psi., Psikolog, dan
Suwito Hendraningrat Pudiono, M.Psi., Psikolog
Siti Marini Wulandari, M.Psi., Psikolog, dan
Suwito Hendraningrat Pudiono, M.Psi., Psikolog
Tidak ada komentar:
Posting Komentar