Petani
desa terpencil dengan luas lahan sekitar 1000 m2. Jangankan pestisida, pupuk
pun tahunya hanya urea. Menurut cerita kakek dia mulai bertani sejak umur 20
tahunan, kehidupan bertani dimulai sejak terlepasnya predikat buruh tani dari
bahunya.
Sampai
sekarang kakek masih tetap bertani. Umur kakek saya sekarang sudah 95 tahun,
berarti beliau sudah bertani selama 75 tahun. Dan jika dihitung berapa kali
beliau menanam padi kira-kira sudah 150 kali. Kakek mempunyai sebuah rumah semi
permanen dengan dinding yang belum diplester masih berbentu bata. Itupun hasil
karya para putra-putranya beberapa tahun yang lalau. Beliau memiliki sepeda
kayuh 1 buah dan kambing 5 ekor. Dan kalau saya rupiahkan kekayaan kakek tidak
lebih dari 5 juta rupiah. Itupun diraih dari hasil kerja keras dan penuh
keprihatinan serta kesederhanaan.
Itulah
sekilas gambaran mayoritas petani indonesia sekarang ini. Lalu salah siapa ini?
Padahal jasa beliau tidaklah dapat dihitung, coba anda pikirkan siapakah yang
telah memberi makan berjuta-juta penduduk indonesia sejak 75 tahun silam sampai
sekarang? Tetapi kenapa nasib petani kita masih seperti itu.
Menurut
cerita dari rekan-rekan PPL senior, pemerintah telah menurunkan dana bertrilyunan
untuk membantu petani kita. Untuk mendukung bergulirnya dana tersebut
pemerintah juga membuat program pendampingan dari mulai KUT, BPLM, SMD sampai
PUAP. Tapi mengapa petani masih tetap miskin? Apa ada yang salah dengan
kebijakan pemerintah tersebut?
Saya kira
pemerintah perlu membuat design kebijakan yang baru yang lebih bisa memahami
kondisi riil mayoritas petani kita, dengan strategi yang lebih menggigit. Kalau
hal tersebut tidak dilakukan, saya jamin kehidupan petani kita akan semakin
terpuruk dan secara otomatis akan memutus siklus hidup para petani kita.
Negara
indonesia akan kehilangan petani-petaninya karena sudah tidak ada generasi
penerus petani yang mau bertani. Hal ini terjadi karena kaum muda menganggap
mata pencaharian sebagai petani sudah tidak layak dan rendah bahkan hina.
Mereka menganggap sudah tidak ada yang bisa diharapkan dari kehidupan bertani.
Lalu mereka akan berbondong-bondong untuk mencari pekerjaan lain. Yang menjadi
pertanyaan saya, Siapakah nanti yang akan menanam padi lagi ketika generasi tua
sudah habis? Apakah anak-anak dari pak tani mau bertani?
Bangsa ini
akan kehilangan lahan-lahan pertaniannya karena sudah tidak ada yang mau
bertani lagi. Dan secara otomatis lahan-lahan pertanian tersebut akan disulap
menjadi lahan yang penuh dengan bangunan. Sehingga negara kita akan kehilangan
gelar sebagai Negara Agraris.
Untuk
merubah gambaran keadaan masa depan suram tentang Indonesia itu, tentunya
pemerintah harus membuat iklim pertanian dan perekonomian yang mendukung untuk
petani kecil. Iklim yang bisa memudahkan petani kecil untuk tumbuh dan
mengembangkan usahanya sehingga petani akan dengan mudah mencapai kesejahteraan
hidup dari sisi materi. Kesejahteraan yang selama ini hanya menjadi impian
mereka.
Dengan
terbentuknya iklim yang mendukung kehidupan petani secara otomatis menjadikan
anak turun mereka akan sangat bangga menerima warisan pekerjaan sebagai petani.
Jika hal ini terjadi maka pemerintah tidak perlu lagi ragu akan masa depan
pertanian indonesia, karena akan terbentuk petani generasi muda yang tangguh
dan cakap serta mau dan mampu menerima inovasi teknologi.
Saya
menjadi sangat emosional jika melihat ulasan atau tulisan yang menjelaskan
tentang “kematian” para petani kita, petani Indonesia. Apalagi jika melihat
dari dekat fakta bahwa petani kita memang bisa dianggap bukan petani
“pengusaha”, melainkan petani “buruh”. Baiklah saya menerima karena itu memang
kenyataannya. Saya adalah cucu petani, saudaranya petani dan tetangga para
petani.
Tapi
kenyataan itu tidak lantas membuat kita harus terus menangisi petani kita.
Apakah ada solusi dari masalah diatas. Saya yakin selalu ada. Karena tidak ada
masalah yang tidak ada jalan keluarnya. Saya ingin melihat masalah ini dari
kacamata saya sendiri sebagai orang yang tidak bisa dikatakan dekat tetapi
sejak kecil melihat kehidupan para petani.
Ternyata
masalah yang sangat mengganggu para petani yang saya lihat adalah bagaimana
sulitnya mereka mengontrol harga dari hasil pertaniannya, kelangkaan pupuk saat
tanam dan mahalnya harga-harga obat pembasmi hama yang menyerang tanaman
mereka. Selalu itu yang menjadi masalah terutama sejak era reformasi
berlangsung. Nenek saya pernah bercerita, dulu menanam apapun di ladang rasanya
sangat mudah. Tidak perlu pupuk macam-macam dan obatan-obatan kimia yang
aneh-aneh.
Ketiga
masalah diatas adalah konsekuensi dari adanya tiga pilar utama industri yang
menunjang kehidupan seluruh masyarakat kita. Industri pupuk, industri
obat-obatan, dan industri tani itu sendiri, yaitu petani yang menjadi pekerja
lapangan yang langsung berhadapan dengan sawah, ladang dan kebun yang mereka
miliki. Disinilah keuletan dan ketrampilan para petani yang dibutuhkan.
Sayangnya
untuk menjadi petani umumnya masyarakat kita tidak harus mengenyam pendidikan
yang tinggi. Kultur dari masyarakat negara Indonesia adalah kultur tani,
sehingga sekuat apapun tenaga yang diberikan oleh para penyelenggara negara
untuk menyejahterakan rakyatnya tidak akan pernah berhasil jika negara tidak
memberi perhatian yang serius kepada ketiga industri diatas.
Sedangkan
dua industri yang lain yaitu pupuk dan obat-obatan yang notabene para
praktisinya harus mengenyam pendidikan yang tinggi selalu menjadi momok yang
menakutkan bagi para petani. Industri penunjang pertanian ini juga tidak bisa
disalahkan karena mereka berdiri atas dasar dedikasinya yang diperuntukkan
untuk para petani, sehingga menghasilkan produk-produk yang bermanfaat untuk
memajukan industri pertanian. Bagaimanapun kedua industri tersebut tidak boleh
mati, karena sebagai penunjang bagi berlangsungnya kehidupan petani dan
industri pertanian itu sendiri.
Sebuah Solusi
Malu
sebenarnya mengatakan ini sebuah solusi, tapi menurut saya, sah-sah saja kita
menyampaikan sebuah pendapat, syukur-syukur jika pendapat itu menjadi
pertimbangan bagi penyelesaian sebuah masalah.
Menurut
hemat saya, para petani yang terhormat itu tidak dapat dipersalahkan karena
mereka adalah korban dari buruknya sebuah sistem dan ketidaktahuan, atau
ketidakmauan para penyelenggara negara dalam menyelesaikan masalah-masalah yang
ada di negeri ini. Mimpi saya kelak jika para penyelenggara negara tidak lagi
menganggap dirinya sebagai manusia yang harus dilayani serta dihormati dan
berganti menjadi manusia pelayan, maka semua masalah yang melingkupi hidup
berbangsa dan bernegara ini akan berangsur-angsur akan selesai dengan
sendirinya. Mudah-mudahan itu tidak lama lagi.
Lalu apakah kita akan menunggu
masalah akan selesai dengan sendirinya ? saya harap tidak.
Pertama, berkaca kepada fakta di lapangan, saya sering melihat
ketika seorang tengkulak menawar harga padi yang dipanen seorang petani. Para
tengkulak ini menawar dengan harga rendah dengan memberi alasan logis, “karena
harga dipasaran memang segitu, kalau tidak segitu nanti saya tidak dapat
untung”. Jadi siapa sebenarnya yang menciptakan pasar. Tentu saja penyelenggara
negara. Faktanya adalah tempat terakhir dari padi yang dihasilkan oleh petani
ini nantinya akan lari ke lumbung-lumbung yang telah disediakan pemerintah.
Artinya pemerintahlah yang membeli padi dari para petani.
Karena
mayoritas dari masyarakat di indonesia ini adalah petani, maka saya kurang
setuju jika pemerintah membuat lumbung (gudang-gudang) hanya di pusat kota yang
disiapkan untuk mengantisipasi agar tetap tersedia bahan-bahan pokok untuk
memenuhi kebutuhan pangan seluruh Indonesia. Yang saya maksud adalah pemerintah
menentukan harga jual bahan-bahan hasil tani ini dengan harga yang menyulitkan
masyarakat dengan alasan yang sekali lagi “logis” karena mahalnya proses
pembelian bahan pangan ini dari petani sampai berada di lumbung milik
pemerintah. Proses itu adalah termasuk transportasi, pemeliharaan tempat, dan
manajemen penyaluran kembali kepada masyarakat.
Mungkin
saat inilah saatnya pemerintah memberikan keleluasaan kepada para petani untuk
menentukan nasibnya sendiri sesuai dengan daerah-daerahnya masing-masing,
kemana hasil tani itu akan disalurkan. Gambaran jelasnya adalah menggalakkan
kembali penyediaan lumbung-lumbung di desa-desa seperti jaman dulu jadi tidak
hanya di pusat kota saja. Jaman dulu masyarakat dikenal makmur dalam hal
pertanian karena di setiap rumahnya memiliki lumbung-lumbung untuk menaruh
bahan makanan yang tahan lama. Para petani menentukan sendiri harga dari hasil
taninya kepada pedagang, sehingga petani bisa dianggap sebagai petani
pengusaha, karena penentu harga pertama dari bahan pokok yang dihasilkan dari
keringatnya.
Tidak ada
salahnya jika saat ini pemerintah menyelenggarakan kajian ke desa-desa
penghasil pangan. Jika memungkinkan membuat lumbung di setiap desa, kecamatan
dan kabupaten sehingga proses distribusi bahan pangan dari petani ke pemerintah
tidak memakan biaya mahal. Pemerintah cukup membuat regulasi yang mengatur
bagaimana bahan-bahan makanan ini bisa sampai kembali ke masyarakat dengan
harga terjangkau. Sedangkan penentuan berapa persen alokasi dari hasil
pertanian yang didistribusikan kepada daerah lain yang bukan darah petani
sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah, semisal di kota-kota dan daerah
lainnya. Disinilah nanti akan tercipta pasar daerah, jadi sederhananya
pemerintah tidak bisa memberikan harga beras di kota sama dengan harga beras di
desa karena dampaknya akan sangat menyengsarakan masyarakat desa yang notabene
adalah petani.
Kedua, Pemerintah secara ketat mengawasi jika perlu mengkaji
bahan-bahan obat pembasmi hama yang digunakan petani harus benar-benar aman
dari lingkungan. Saya sering mendengar para petani berujar “jaman sekarang hama
yang memakan tanaman sepertinya lebih kuat dari jaman dulu, dan bahkan kadang
lebih banyak”. Jaman sekarang tidak mungkin menghasilkan tanaman yang baik
tanpa obat-obat kimia. Yang dimaksud pak tani adalah mereka tidak akan bisa
membasmi hama yang meyerang tanaman mereka jika tidak membeli obat dengan harga
mahal. Para petani sudah pengalaman bahwa obat yang mahal harganya ternyata
lebih baik dan bisa membunuh hama dengan cepat. Ironisnya yang saya dengar dari
petani sendiri, obat-obat yang mahal itu bisa membunuh hama penyerang
tanamannya sekaligus membunuh hewan-hewan yang semestinya menjadi penunjang
bagi keberlangsungan kehidupan tanamana mereka, seperti katak-katak kecil,
cacing tanah dan hewan-hewan lain yang seharusnya tidak ikut mati.
Sedangkan
mengenai masalah harga yang tidak terjangkau, pemerintah harus turun tangan
membereskan kejahatan mafia industri obat-obatan bagi pertanian yang sengaja
mencari untung sebesar-besarnya tanpa mengindahkan efek dari lingkungan akibat
produk yang dihasilkan mereka. Para akademisi yang nantinya bergerak dibidang
industri obat-obatan pembasmi hama tanaman juga harus diperhatikan. Jika perlu
memberikan alokasi dana yang besar untuk melakukan riset dan kajian-kajian yang
mendalam bagaimana menghasilkan obat yang aman bagi lingkungan yang menjadi
media bagi kelangsungan industri pertanian. Juga harus berani memberikan
kesejahteraan lebih bagi para insinyur-insinyur terbaik yang menyumbang lebih
banyak dibidang pertanian.
Ketiga, Masalah kelangkaan pupuk sebenarnya hanyalah sandiwara yang
sudah diketahui umum. Pupuk yang disediakan pemerintah tidak terdistribusi
dengan baik dikarenakan ulah nakal para distributor dan kentalnya kong kalikong
antara penegak hukum dan para distributor penimbun pupuk. Jika memang
pemerintah serius mengatasi masalah kelangkaan pupuk dan pemalsuan pupuk maka
harus berani jika perlu membentuk satgas mafia industri perpupukan Indonesia.
Tulisan
ini hanyalah sikap emosional saya terhadap “yang katanya” matinya petani
indonesia. Maka mohon jangan dianggap sebagai sikap pembelaan terhadap petani,
walaupun saya adalah anak petani. Para petani adalah orang-orang luar biasa
yang sangat berjasa bagi keberlangsungan hajat hidup orang banyak, tanpa dibela
pun mereka dengan ikhlas berusaha menyuburkan tanah mereka dan berusaha
memberikan hasil tani terbaiknya untuk orang banyak. Karena manusia tidak akan
bisa hidup tanpa petani.