Selasa, 09 Juni 2015

UU NO 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi BAB V Pasal 44 Ayat 2 Butir f, g, h

Undang - Undang No.36 tahun 1999 yang mengatur tentang telekomunikasi  yang ada di Indonesia. Undang - undang ini terdiri dari 9 BAB dan 64 PASAL. Pada undang-undang ini, terdapat bab yang mengatur tentang penyidikan yaitu BAB 5 pasal 44. Pasal 44 ini dibagi menjadi 3 ayat. Yang akan saya bahas kali ini adalah BAB 5 pasal 44 ayat 2 butir f, g, h. Berikut kutipan isi dari UU NO 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi BAB V Pasal 44 Ayat 2 Butir f, g, h :
f. menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
g. menyegel dan/atau menyita alat dan/atau perangkat telekomunikasi yang digunakan atau yang diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
h. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
CONTOH KASUS :
VIVAnews - Sekitar 10 orang dari kepolisian, Balai Monitoring Frekuensi Ditjen Postel dan Komisi Penyiaran Indonesia sekitar pukul 11.00 WIB mendatangi kantor Radio Erabaru FM Batam yang berada di Jalan Borobudur D1, Palm Hill, Bukit Senyum, Batam. Mereka melakukan penyegelan dan sita paksa alat transmiter radio tersebut.
Aksi sita paksa ini masih berlangsung hingga pukul 12.05 WIB, Rabu 24 Maret 2010. 
Direktur Radio Erabaru FM Batam Raymond kepada VIVAnews, pihaknya kini berusaha mempertahankan agar alat transmiter tidak disita paksa.
"Kami semua berjaga di kantor. Kita tidak terima penyitaan ini. Kasus kami kan masih dalam proses hukum di MA. Tadi kami sempat tunjukkan tanda terima kasus ini di MA," kata Raymond. Namun upaya yang dilakukan Raymond diabaikan petugas dari kepolisian, Ditjen Postel dan KPI.
Mereka memaksa menyita semua alat yang ada. "Sejak satu jam lalu kami dipaksa menghentikan siaran," kata Raymond.
Sementara Direktur Utama Radio Erabaru, Gatot, menilai tindakan yang dilakukan aparat sebagai pemasungan terhadap kebebasan pers.
Juru bicara Kominfo Gatot S Dewabroto yang dikonformasi soal penyegelan paksa ini membantah penyegelan Radio Erabaru karena adanya intervensi dari pemerintah China.
"Kami belum dapat info dari lapangan, tapi seandainya terajadi itu karena terkait izin penggunaan frekuensi dan izin penyelenggaraan penyiaran. Kami akan cek," kata dia.
Yang pasti, kata Gatot, Kominfo bertindak independen dan berdasarkan UU Telekomunikasi dan Penyiaran. "Tidak ada intervensi dari mana pun. Kalau menurut kami salah ya salah, tapi kalau sudah memenuhi syarat ya sudah," kata dia.
Pada 8 maret 2010 lalu, Radio Erabaru Batam telah  mendapat surat peringatan dari Balai Monitoring (Balmon) Spektrum Frekwensi Radio Kelas II Batam. Isi surat sama dengan 4 surat sebelumnya yakni perintah menghentikan kegiatan (off air).
Namun permintaan itu tidak dikabulkan karena  perkara Radio Erabaru masih dalam proses pengadilan di Mahkamah Agung (Kasasi) dan belum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap (incrakh van gewidje). "Ini berarti semua pihak, termasuk Balmon tidak diperbolehkan bertindak sendiri dan harus menghargai proses hukum. Tindakan Balmon yang mendahului putusan pengadilan yang belum mempunyai kekuatan eksekutorial adalah tindakan tidak etis dan tidak berdasarkan hukum," demikian siaran pers manajemen Radio waktu yang dipublikasikan pada 10 Maret 2010.
Tindakan yang dilakukan Balmon dianggap sebagai intervensi yang dilakukan oleh Pemerintah Komunis China sebagai upaya menghilangkan eksistensi siaran Radio Erabaru Batam sejak 2007 silam. "Tentu saja tindakan Pemerintah Komunis China ini mutlak untuk ditentang, karena membahayakan kebebasan pers di Indonesia dan bangsa Indonesia yang berdaulat, serta berhak mengatur rumah tangganya sendiri."
Permintaan ditutupnya Radio Erabaru terjadi setelah pemerintah China mendatangi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada tahun 2007 silam. Tidak hanya sekedar mendatangi, Kedubes China juga memberikan surat yang berisikan permintaan untuk menghentikan siaran Radio Erabaru di Batam, karena memberitakan pelanggaran HAM yang terjadi di China, seperti penindasan terhadap kaum muslim Uighur, konflik Tibet, pengekangan pers, penganiayaan terhadap praktisi Falun Gong dan pelanggaran HAM lainnya.
Surat tersebut ditujukan kepada Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, dan ditembuskan kepada beberapa lembaga negara, seperti Departemen Dalam Negeri, Badan Intelejen Negara (BIN), Departemen Komunikasi dan Informatika, dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Sumber :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar